Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai Indonesia perlu mempertimbangkan ulang rencana menjadi anggora aliansi perdagangan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS).
Aviliani menyebut, rencana pemerintah Indonesia untuk masuk ke BRICS harus dipertimbangkan ulang seiring dengan ancaman pengenaan tarif dari Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump kepada blok aliansi tersebut.
"Menurut saya mungkin pemerintah sebaiknya berteman dengan semua negara saja. Tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi anggota BRICS, yang akhirnya kita banyak dirugikan. Karena kita transaksi dagang dengan AS cukup besar," ujar Aviliani dalam Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025 di Jakarta pada Selasa (10/12/2024).
Menurutnya, Indonesia sebaiknya tidak terburu-buru untuk bergabung ke sebuah organisasi kerja sama internasional. Dia mengatakan, terdapat organisasi yang saat ini lebih cocok dikerjasamakan secara bilateral dibandingkan multilateral.
Selain itu, dia mengatakan saat ini telah terjadi pergeseran kondisi kerja sama antarnegara di dunia.
"Kondisinya sudah sangat beda. Kalau dulu multilateral itu sangat berguna, sekarang itu lebih bilateral. Kita juga sebagai negara harus pintar memanfaatkan," kata Aviliani.
Baca Juga
Sebelumnya, Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump meminta komitmen negara-negara anggota aliansi BRICS untuk tidak akan menciptakan mata uang baru sebagai alternatif penggunaan dolar AS.
Trump juga kembali mengulangi ancamannya untuk mengenakan tarif 100% apabila negara-negara tersebut 'ngotot' untuk membuat mata uang baru.
"Gagasan bahwa Negara-negara BRICS mencoba untuk menjauh dari dolar sementara kita berdiri dan menonton sudah berakhir," kata Trump dalam sebuah posting di jejaring sosial Truth Social, dikutip dari Bloomberg
Trump dan para penasihat ekonominya telah membahas berbagai cara untuk menghukum sekutu dan musuh yang berupaya terlibat dalam perdagangan bilateral dalam mata uang selain dolar. Langkah-langkah tersebut termasuk mempertimbangkan berbagai opsi seperti kontrol ekspor, biaya manipulasi mata uang, dan pungutan atas perdagangan.