Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bos KRAS Blak-blakan Bumi Langit Harga Gas RI vs Timur Tengah

Direktur Utama Krakatau Steel (KRAS) Muhammad Akbar berbicara mengenai mahalnya harga gas industri di Indonesia yang membuat industri baja kurang kompetitif.
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Muhamad Akbar (kiri) disaksikan Direktur Pemberitaan & Produksi sekaligus Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Maria Y. Benyamin memberikan pemaparan pada saat media visit di Bisnis Indonesia, Jakarta, Rabu (8/1/2024)./Bisnis-Himawan L Nugraha
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Muhamad Akbar (kiri) disaksikan Direktur Pemberitaan & Produksi sekaligus Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Maria Y. Benyamin memberikan pemaparan pada saat media visit di Bisnis Indonesia, Jakarta, Rabu (8/1/2024)./Bisnis-Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS) mengungkap perbedaan harga gas untuk industri di Indonesia dan Timur Tengah yang selisih jauh, terlebih dalam hal mendorong pengembangan ekosistem industri baja hijau yang ramah lingkungan dan berkelanjutan atau green steel

Direktur Utama KRAS Muhammad Akbar mengatakan, pabrikan baja hijau milik perusahaan kalah ekonomis lantaran harga gas di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan negara lain, salah satunya Oman, Timur Tengah. 

"Sebagai gambaran di Oman, Timur Tengah, terus terang China dan lain-lain itu pindah ke sana bangun [produksi green steel], itu US$1 per MMBtu, jadi US$6 per MMBtu nggak akan ada," kata Akbar di Kantor Bisnis Indonesia, Rabu (8/1/2025).

Perusahaan pelat merah itu selama ini memanfaatkan harga gas bumi tertentu (HGBT) senilai US$6 per MMBtu yang juga belum masuk dalam nilai keekonomian. Kendati demikian, pihaknya masih terus mendorong pemerintah untuk memperpanjang kebijakan HGBT yang telah berakhir akhir tahun lalu. 

Dalam hal ini, KRAS mengaku telah beraudiensi dengan Kepala SKK Migas selama 2 hari berturut-turut yang menyebut bahwa kelanjutan HGBT masih gamang lantaran pasokan gas yang tidak cukup. Terlebih, infrastruktur distribusi pipeline gas pun dinilai belum mumpuni. 

"Iya minta maksimum perpanjangan, kalau bisa dibawahnya green steel kita bisa reactivate lagi," imbuhnya. 

Pihaknya saat ini pun tengah terlibat untuk memasok pipa gas yang dibutuhkan sebagai upaya mempercepat distribusi gas. Kendati demikian, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan instalasi infrastruktur pipa membutuhkan waktu 3 tahun. 

"Kalau jadi semua pipeline itu butuh instalasi infrastrukturnya at least 3 tahun, pipa Cisem II, Dusem. Tapi harus ada solusi jngka pendek, harusnya sudah ada karena dampak ekonominya sangat besar, defisitnya nanti kalau misalnya naik pabrik berhenti kelar industrinya, tenaga kerjanya," jelasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper