Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15% mulai 2025. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menyatakan bahwa penerapan pajak minimum global adalah bentuk komitmen pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan kompetitif. Dengan kebijakan ini, pajak tidak lagi menjadi faktor utama dalam menentukan negara tujuan investasi.
“Dengan adanya ketentuan ini, praktik penghindaran pajak seperti melalui tax haven dapat dicegah. Kesepakatan ini kita sambut baik karena sangat positif dalam menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil,” ujar Febrio dalam keterangannya, pekan lalu (16/1/2025).
Penerapan ketentuan pajak minimum global ini merupakan bagian dari kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, didukung oleh lebih dari 140 negara. Saat ini, lebih dari 40 negara telah mengimplementasikan ketentuan tersebut, dengan mayoritas mulai menerapkannya pada 2025.
Inisiatif ini bertujuan untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom) dengan memastikan bahwa perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal 750 juta euro membayar pajak minimum sebesar 15%.
Singkatnya, pemerintah kini memiliki hak untuk memajaki grup perusahaan multinasional yang memperoleh keuntungan di Indonesia, meskipun tidak memiliki kantor fisik di dalam negeri.
Baca Juga
Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Prianto Budi Saptono, menyebut aturan pajak minimum global ini relevan dengan perkembangan ekonomi yang semakin terdigitalisasi. Hal ini menjawab tantangan alokasi hak pemajakan.
“Melalui ekonomi digital, suatu perusahaan yang berlokasi di negara A bisa mengambil keuntungan di negara B. Namun, pemerintah negara B sulit memajaki perusahaan tersebut karena berada di luar yuridiksinya,” jelas Prianto.
Pajak minimum global menyesuaikan alokasi hak pemajakan dengan kebijakan internasional berbasis konsensus. Kebijakan ini dirancang berdasarkan model bisnis baru tanpa mendasarkan pada kehadiran fisik, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
“Dengan demikian, hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber penghasilan bagi grup perusahaan multinasional tidak lagi terbatas pada kehadiran fisik anggota grup tersebut,” ungkap Prianto kepada Bisnis, Minggu (19/1/2025).
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa PMK 136/2024 dirancang untuk mengatasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yaitu praktik penggerusan basis pajak dan pengalihan laba ke negara-negara tax haven yang mengenakan tarif pajak sangat rendah atau bahkan tidak memungut pajak penghasilan badan.
“Dengan pajak minimum global ini, grup perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dan negara lain harus membayar pajak sesuai tarif minimum global yang telah disepakati,” kata Prianto, yang juga Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute.
Dampak Negatif Penerapan Pajak Minimum Global
Meski positif, Prianto mengingatkan bahwa penerapan pajak minimum global juga membawa dampak negatif. Pertama, kebijakan ini memengaruhi fasilitas tax holiday yang sebelumnya menjadi daya tarik investasi di Indonesia.
“Daya saing Indonesia berupa tax holiday akan terpengaruh, terutama bagi grup perusahaan multinasional yang sebelumnya menikmati fasilitas tersebut,” ujarnya.