Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian ESDM perlu memperhatikan keberlanjutan pasokan gas untuk kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) di tengah potensi susutnya pasokan gas pipa.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan ada dua hal yang harus diperhatikan dalam kebijakan HGBT, yakni soal alokasi volume gas dan penerimaan negara.
“Penerimaan negara akan turun signifikan,” ujarnya, saat dihubungi Bisnis, Jumat (24/1/2025).
Salah satu pasokan gas HGBT datang dari Blok Corridor, garapan Medco E&P Grissik Ltd. (MEPG). Pemberitaan Bisnis sebelumnya, pasokan gas dari Blok Corridor ke PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) bakal menyusut hingga 128 BBtud pada 2028, dari 410 BBtud yang dialirkan pada 2024.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa kebijakan HGBT harus dilihat secara komprehensif baik dari aspek korporasi, ekonomi, dan fiskal.
Melalui akun instagram-nya, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa dari sisi korporasi terjadi perbaikan kinerja peningkatan net profit margin (NPM) dari 6,21% (2020) menjadi 7,53% (2023). Sementara, NPM tahun 2023 terbesar disumbang industri pupuk sebesar 12,73%, disusul sarung tangan karet 11,36%, dan industri kaca 11,24%.
Baca Juga
Selain itu, kinerja korporasi tercermin pada peningkatan penerimaan pajak pada sektor penerima HGBT dari Rp37,16T (2020) menjadi Rp65,06T (2023) penyumbang pajak tertinggi di sektor ketenagalistrikan, pupuk, baja, dan petrokimia.
“Kebijakan HGBT yang sangat bermanfaat bagi industri dan perekonomian, menimbulkan beban fiskal dalam bentuk pendapatan negara (PNBP) yang tidak diterima,” katanya.
Di sisi lain, praktisi industri dan migas, Dwi Soetjipto mengatakan kebijakan HGBT baik untuk menstimulasi geliat manufaktur, sehingga mampu mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja.
Di sisi lain, lanjutnya, penerimaan negara dari migas, termasuk keekonomian investasi di sektor hulu juga jangan luput dari perhatian. Atmosfer investasi hulu migas seyogyanya juga perlu dijaga, sehingga tetap kompetitif dibandingkan dengan negara lain.
“Mitigasinya adalah percepatan proyek-proyek migas dan infrastrukturnya, sehingga potensi biaya tinggi bisa hindari. Kalaupun ada opsi menggunakan LNG, maka perlu dihitung kembali soal manfaat HGBT, penerimaan negara dan keekonomian investasi di hulu,” ujarnya.
Terkait keekonomian gas pipa, Dwi menambahkan, bahwa pemerintah perlu meninjau infrastruktur pipa gas yang berumur, sehingga harga toll fee bisa disesuaikan.
Belum lama ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral program HGBT tetap berlanjut tetapi dengan catatan kenaikan harga mengikuti fluktuasi harga gas bumi dunia. Dengan begitu, dipastikan HGBT yang akan dilanjutkan tahun ini tidak akan lagi dipatok pada harga US$6 per MMBtu.
Merujuk rancangan pemerintah, kemungkinan gas yang dipakai untuk energi besar kurang lebih sekitar US$7 per MMBtu.