Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha menilai deflasi yang terjadi pada Januari 2025 sebesar 0,76% secara bulanan (month-to-month/mtm) dan tahun kalender (year-to-date/ytd) merupakan fenomena sementara.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan bahwa deflasi yang terjadi pada Januari 2025 sebagai fenomena sementara yang terjadi secara artifisial lantaran intervensi pemerintah atas kebijakan diskon harga listrik.
Perlu diketahui, pemerintah telah memberlakukan diskon tarif listrik sebesar 50% untuk pelanggan PLN hingga 2.200 VA dari Januari—Februari 2025.
“Kemungkinan besar deflasi ini tidak akan terjadi ketika periode subsidi tersebut berakhir karena komponen-komponen harga lainnya sebagian besar masih menunjukkan adanya inflasi atau kenaikan harga meskipun rendah,” kata Shinta kepada Bisnis, Senin (3/2/2025).
Sementara itu, Shinta menyampaikan bahwa komponen barang (non listrik) yang mengalami deflasi juga tidak mengalami tingkat deflasi yang signifikan atau kurang dari -0,5%.
“Jadi kemungkinan besar inflasi akan rebound ke level target pemerintah 2,5%±1 per Februari 2025 atau Maret 2025 kalau tidak ada intervensi lain dari pemerintah yang dapat memicu deflasi lebih lanjut,” ujarnya.
Baca Juga
Terlebih, sambung dia, Indonesia juga akan mendekati momentum konsumsi tinggi, yaitu Ramadan—Lebaran yang biasanya mendongkrak inflasi.
Adapun secara keseluruhan, Apindo memproyeksikan inflasi nasional pada 2025 akan sesuai dengan target inflasi pemerintah, yakni 2,5%±1.
Menurut Shinta, inflasi berpeluang bisa mencapai level 3% atau lebih dalam periode Ramadan—Lebaran. Namun, di luar periode itu, Apindo memproyeksi akan sulit bagi pemerintah untuk mendongkrak inflasi lebih dari 2,5% jika tidak ada stimulus yang lebih baik untuk mendongkrak konsumsi dan penciptaan lapangan kerja di sektor formal.
“Ini karena fenomena penurunan daya beli dan penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia yang terjadi sejak tahun lalu belum menunjukkan perbaikan yang signifikan,” tuturnya.
Padahal, sambung dia, tingkat inflasi yang lebih tinggi atau 3% ke atas sangat tergantung pada kenaikan daya beli masyarakat secara umum. Adapun secara khusus, peningkatan jumlah kelas menengah (true middle class) yang keduanya tergantung pada penciptaan produktivitas sektor riil dan lapangan kerja di sektor formal.
“Selama pilar-pilar pendukung konsumsi pasar domestik tersebut belum banyak berubah, kami rasa inflasi akan terus berada di level rendah atau di bawah 3%, meskipun inflasi kemungkinan akan tetap berada di level target pemerintah,” terangnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kelompok penyumbang deflasi bulanan terbesar pada Januari 2025 berasal dari perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga yang deflasinya sebesar 9,16% dan ini memberikan andil deflasi sebesar -1,44%.
"Pada Januari 2025 secara bulanan atau MtM dan tahun kalender ytd terjadi deflasi 0,76% atau terjadi penurunan IHK dari 106,80 pada Desember 2024 menjadi 105,99 pada Januari 2025,” kata Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti dalam Rilis BPS, Senin (3/2/2025).
Amalia menyebut deflasi bulanan terjadi di tengah kebijakan pemerintah memberi diskon tarif listrik sebesar 50% untuk pelanggan PLN hingga 2200 VA, kenaikan harga BBM non subsidi, kenaikan harga eceran produk tembakau, dan curah hutan kriteria menengah dan diatas normal sehingga berdampak kepada produksi hortikultura.
Lebih lanjut, dia juga menekankan bahwa deflasi bulanan pada Januari 25 menjadi catatan pertama. Deflasi bulanan terakhir yang dicatat BPS sebelumnya terjadi pada September 2024.
"Pada Januari 25 angka bulanan (mtm) dan year-to-date [ytd] akan sama karena pembandingnya sama. Sementara itu, secara year-on-year [yoy], terjadi inflasi sebesar 0,76%," tandasnya.