Bisnis.com, JAKARTA – Raksasa migas Chevron mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 15% hingga 20% dari total tenaga kerja globalnya hingga akhir 2026.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi efisiensi yang mencakup pemangkasan biaya, restrukturisasi bisnis, dan penyelesaian akuisisi besar.
Melansir Reuters, Kamis (13/2/2025), perusahaan minyak terbesar kedua di AS ini berhadapan dengan berbagai tantangan, mulai dari pembengkakan biaya hingga keterlambatan proyek di ladang minyak raksasa Kazakhstan.
Sementara itu, akuisisi senilai US$53 miliar terhadap Hess—yang diharapkan memperkuat posisinya di ladang minyak Guyana—masih terganjal sengketa hukum dengan Exxon Mobil. Exxon sendiri mencatat rekor produksi di Guyana dan ladang minyak terbesar AS, membuat Chevron tertinggal dalam kompetisi.
Untuk menekan pengeluaran, Chevron menargetkan pemangkasan biaya hingga US$3 miliar melalui optimalisasi teknologi, penjualan aset, serta perubahan metode dan lokasi kerja. Pada akhir 2023, perusahaan tercatat memiliki 40.212 karyawan. Jika PHK mencapai 20%, sekitar 8.000 pekerja akan terdampak—di luar 5.400 pekerja di jaringan stasiun layanan Chevron.
Kinerja keuangan perusahaan juga mengalami tekanan akibat lemahnya margin produksi bensin dan solar. Untuk pertama kalinya sejak 2020, unit penyulingan Chevron mencatat kerugian, memperbesar tekanan bagi CEO Mike Wirth.
Baca Juga
Vice Chairman Chevron Mark Nelson mengatakan PHK ini merupakan salah satu langkah perseroan untuk menyederhanakan struktur organisasi, meningkatkan eksekusi, dan memperkuat daya saing jangka panjang.
"Keputusan ini tidak diambil dengan mudah, dan kami akan memastikan dukungan bagi karyawan yang terdampak,” ungkap Nelson seperti dikutip Reuters.
Dalam pertemuan internal, perusahaan menginformasikan bahwa karyawan dapat mengajukan pengunduran diri sukarela hingga April atau Mei. Chevron juga akan mengumumkan struktur kepemimpinan baru dalam dua minggu mendatang.
Industri minyak global tengah mengalami gelombang konsolidasi, dengan perusahaan-perusahaan besar lebih memilih strategi akuisisi dan efisiensi operasional dibandingkan eksplorasi sumur baru.
Exxon Mobil, misalnya, baru saja mengakuisisi Pioneer Natural Resources untuk mengokohkan dominasinya di Cekungan Permian, serta terus memperluas eksplorasi di Guyana, yang telah menghasilkan lebih dari 11 miliar barel minyak.
Bagi Chevron, kegagalan mengakuisisi Hess bisa menjadi kemunduran besar kedua setelah pada 2019 kalah bersaing dengan Occidental Petroleum dalam perebutan Anadarko Petroleum. Saat ini, cadangan minyak dan gas Chevron berada di titik terendah dalam satu dekade. Hal ini menimbulkan kekhawatiran atas masa depan jangka panjangnya tanpa akuisisi besar.
Sebagai bagian dari transformasi, Chevron tahun lalu memindahkan kantor pusatnya dari San Ramon, California, ke Houston, serta melakukan perombakan jajaran manajemen. Perusahaan juga mengumumkan pembentukan pusat teknologi di India, yang akan menjadi fasilitas teknologi terbesar di luar AS.