Bisnis.com, DENPASAR - Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPKI) Bali menyebut masyarakat atau konsumen di Bali yang dirugikan akibat Pertamax oplosan bisa menggugat Pertamina secara class action.
Direktur YLPK Bali, I Putu Armaya menjelaskan apabila dugaan oplosan ini benar terbukti, maka hal ini melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pertamina dinilai menciderai hak konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut tidak sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Menurutnya dalam kasus ini konsumen dijanjikan RON 92 Pertamax dengan harga yang lebih mahal, malah mendapatkan mendapat Pertamax yang diduga hasil oplosan. Pelaku bisa dijerat dengan pasal 8 Junto pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada sanksi pidananya dipenjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar. Di pasal 8 UUPK jelas tercantum larangan bagi pelaku usaha memperdagangkan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan jangan sampai terjadi penipuan secara massal kepada konsumen.
"Konsumen di Bali jangan takut untuk mengadu jika ditemukan hal-hal yang menyimpang terkait dugaan pengoplosan BBM ini. Jika ada bukti yang cukup kami di Bali siap akan melakukan gugatan hukum atau class action untuk memperjuangkan dan membela hak-hak konsumen di Bali," jelas Armaya dalam jawaban tertulis kepada Bisnis, Jumat (28/2/2025).
Armaya juga mendesak pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus ini dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada para pelaku. Jika dilakukan oleh SPBU agar diberikan sanksi tegas juga bila membandel agar dicabut izinnya.
YLPK Bali meminta Pertamina untuk transparan dalam memberikan informasi yang jelas dan jujur kepada konsumen mengenai kualitas produk bahan bakar yang dijual, bertanggung jawab atas kerugian yang dialami konsumen akibat dugaan praktik pengoplosan ini, serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan distribusi bahan bakar untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali.
Baca Juga
Menurutnya Pertamina dan SPBU tidak boleh lepas dari tanggung jawab jika hal ini benar-benar terjadi, tanggung jawab pertamina sebagai operator yang menjual BBM melalui SPBU sebagai rekanannya harus memberikan sanksi bagi SPBU yang melakukan penyimpangan. Selain itu, konsumen harus menunjukan bukti pembelian sebagai syarat minta ganti rugi.
Masalah pelayanan di SPBU di Bali menurut Armaya, ada banyak pengaduan selama tiga tahun terakhir, pengaduan seperti layanan Operator, meteran di SPBU yang kabur, apalagi saat ini ada dugaan kualitas BBM kurang bagus karena di oplos.
"Kami akan meminta Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM diminta untuk memeriksa ulang kualitas bahan bakar minyak (BBM) Pertamina yang beredar di masyarakat termasuk di Bali," ujar Armaya.