Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Klaim Sri Mulyani vs Pengusaha Tekstil, Ini Fakta Indikasi Sunset Industry TPT

Kalangan pengusaha menepis data paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai kondisi industri tekstil mulai pulih. Bagaimana faktanya?
Denis Riantiza Meilanova,Afiffah Rahmah Nurdifa
Selasa, 18 Maret 2025 | 07:10
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Inefisiensi secara struktural di sektor tekstil dan garmen Indonesia ditunjukkan dengan penurunan total factor productivity (TFP) sejak 2013-2015. Menurut hasil estimasi, dalam 10 tahun terakhir terjadi tren penurunan produktivitas, baik pada industri tekstil maupun garmen. Pada, industri garmen penurunan sudah mulai terjadi sejak 2015, sedangkan pada sektor tekstil penurunan sudah terjadi sejak 2013.

IFG Progress menyebut, faktor inefisiensi ini didukung dengan lemahnya adaptasi teknologi, peningkatan unskilled worker yang menurunan produktivitas tenaga kerja, dan fragmentasi industri pada perusahaan mikro.

Fragmentasi perusahaan mikro di industri tekstil dinilai menjadi penyebab industri tekstil dalam negeri sulit meningkatkan daya saing di pasar domestik maupun global. IFG melaporkan berdasarkan pendekatan revealed comparative advantage (RCA), per 2023, Indonesia masih belum mencapai level daya saing produk ekspor tekstil Vietnam.

"Artinya, secara teknis Indonesia belum mengerahkan sumber daya yang optimal untuk memproduksi tekstil relatif terhadap barang ekspor lainnya dibandingkan dengan Vietnam," tulis Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman.

Di sisi lain, secara performa keuangan, sebagian besar perusahaan tekstil menghadapi tekanan likuiditas yang tinggi, dengan rasio kas dan rasio lancar yang rendah. Kondisi ini menandakan bahwa industri tekstil dalam negeri kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek.

Dari sisi profitabilitas, rasio marjin operasional dan pengembalian aset (ROA) mengalami volatilitas yang tinggi, dengan tren penurunan yang mengindikasikan tekanan margin dan ketergantungan terhadap faktor eksternal seperti harga bahan baku dan biaya
produksi. Leverage keuangan yang tinggi juga menjadi tantangan utama, di mana rasio utang terhadap EBITDA dan ekuitas menunjukkan ketergantungan besar terhadap pembiayaan eksternal.

"Selain itu, probabilitas gagal bayar beberapa perusahaan mengalami lonjakan dalam beberapa tahun terakhir, mengindikasikan peningkatan risiko kebangkrutan di tengah kondisi pasar yang semakin kompetitif," tulis Ibrahim.

IFG Progress menyimpulkan bahwa tren penurunan kapasitas produksi, PHK massal, serta semakin melemahnya surplus perdagangan industri tekstil menunjukkan perlunya transformasi mendalam. Untuk memulihkan peforma, industri tekstil Indonesia perlu berfokus terlebih dahulu untuk memulihkan masalah struktural dengan menguatkan fundamental perusahaan dalam hal efisiensi produksi, seperti memodernisasi teknologi, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, atau meningkatkan investasi.

IFG berpandangan bahwa penyelesaian masalah struktural akan menguatkan sektor tekstil dalam negeri untuk menghadapi
tantangan yang sering kali muncul secara cylical.

"Tanpa modernisasi yang signifikan, reformasi kebijakan, dan investasi dalam inovasi, risiko industri ini memasuki fase sunset industry semakin nyata,"

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper