Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mewanti-wanti Revisi UU TNI dapat memunculkan masalah baru dalam tatanan ekonomi, yakni perebutan posisi dengan masyarakat sipil.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang penempatan TNI aktif di jabatan sipil, apabila RUU TNI disahkan jadi UU, dapat menimbulkan masalah inefisiensi sumber daya.
Hal tersebut didasarkan pada gap keahlian militer yang berbeda dengan pekerjaan sipil, terutama dalam pengambilan keputusan strategis.
“Jika semua masalah ditarik pada konteks keamanan dan pertahanan, terdapat risiko proses pembangunan akan bias kepentingan militer,” ujar Bhima, dikutip pada Rabu (19/3/2025).
Pasalnya, muncul beragam polemik atas revisi tersebut, terutama terkait ketentuan yang disinyalir bertujuan untuk membangkitkan Dwifungsi ABRI. Sorotan kian kuat karena RUU disetujui ke rapat paripurna.
Polemik tersebut, salah satunya, muncul karena pemerintah bersama DPR menambah daftar K/L—dari 10 menjadi 16—yang memperbolehkan TNI tetap aktif.
Baca Juga
Bhima turut melihat potensi terjadinya crowding out effect apabila TNI aktif boleh berbisnis karena militer mengambil porsi pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh pelaku swasta, UMKM, bahkan petani.
Sebagai contoh, sudah terjadi pada program makan bergizi gratis dengan dapur umum tersentralistik, dan food estate yang dikerjakan TNI.
“Artinya ada potensi lapangan pekerjaan masyarakat diperebutkan militer aktif,” lanjutnya.
Lain halnya penempatan anggota TNI di BUMN terbukti tidak berkorelasi terhadap berbagai indikator kinerja, baik sebagai PSO maupun penyumbang laba.
Kemungkinan yang justru akan terjadi adalah demoralisasi pada manajerial dan staff BUMN karena puncak karier ditentukan oleh political appointee bukan karena meritrokrasi. Jika BUMN tidak memiliki konsep meritrokrasi dikhawatirkan brain drain akan merugikan BUMN itu sendiri.
Dari sisi investasi, keberadaan TNI di posisi yang diperuntukkan untuk sipil tersebut memberikan kesan ekonomi kembali pada sistem komando bukan berdasarkan pada inovasi dan persaingan sehat.
Khawatirnya, investor akan menimbang ulang berinvestasi di Indonesia dan target penanaman modal asing atau foreign direct investment (FDI) yang ditetapkan pemerintah senilai Rp3.414 triliun pada 2029, bakal sulit tercapai.
Sementara salah satu poin revisi, yakni perpanjangan usia dinas, perlu pertimbangan ruang APBN di tengah berkoarnya kebijakan efisiensi.
Melihat total belanja pegawai pemerintah tahun ini saja sudah tembus Rp521,4 triliun atau meningkat tajam 85,5% dalam 10 tahun terakhir.
“Jika umur pensiun TNI ditambah, defisit APBN diperkirakan menembus 3% dalam waktu singkat yang artinya bisa melanggar konstitusi UU Keuangan Negara 2003,” tutupnya.
Melihat defisit tahun ini, pemerintah menetapkan sebesar 2,53% terhadap produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan Rp616,2 triliun. Baru dua bulan berjalan APBN 2025, sejumlah lembaga pun memandang defisit terus berpotensi melebar ke level 2,9%.
Komisi I DPR RI pun akan menggelar rapat dengan pemerintah dalam rangka pembicaraan tingkat I untuk pengambilan keputusan terhadap revisi Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU Nomor 34/2004 tentang TNI hari ini, Selasa (18/3/2025).