Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai keputusan pemerintah memberikan diskon tarif tol dan tiket pesawat maupun kereta menjadi kebijakan tanggung karena setengah hati menjaga daya beli masyarakat.
Ekonom dan pemerhati kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat melihat kebijakan akan lebih berdampak pada daya beli masyarakat bila pemerintah berani mengambil langkah radikal.
“Misalnya, menggratiskan tol selama tujuh hari, yang hanya membutuhkan anggaran Rp1,5 triliun hingga Rp2 triliun—setara dengan 0,04% APBN 2025,” tuturnya, Selasa (25/3/2025).
Cara lainnya, mengalokasikan subsidi BBM untuk angkutan umum mudik, sehingga harga tiket bus tidak melambung.
Pasalnya, diskon tarif tol sebesar 20% hanya bersifat simbolis. Misalnya untuk rute Jakarta—Surabaya, biaya tol dapat mencapai Rp1 juta. Memanfaatkan diskon 20% artinya pemudik hanya menghemat Rp200.000.
Achmad melihat besaran diskon tersebut jumlahnya tidak signifikan dibandingkan kenaikan harga BBM, makanan, atau akomodasi selama perjalanan.
Baca Juga
Kebijakan ini juga mengabaikan kelompok rentan. Di mana diskon tarif tol hanya membantu pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi, sementara 60% pemudik mengandalkan transportasi umum seperti bus, kereta ekonomi, atau kapal laut yang justru tidak mendapat subsidi serupa.
Padahal, kenaikan harga tiket bus atau kapal mencapai 30%—50% saat puncak mudik, jauh melampaui kemampuan finansial buruh atau pekerja informal.
Untuk itu, langkah-langkah seperti tarif tol gratis dan subsidi BBM ini jauh lebih berdampak daripada sekadar diskon parsial atau imbauan administratif.
“Sayangnya, pemerintah terjebak dalam logika 'anggaran terbatas'. Padahal, jika mau, dana untuk proyek infrastruktur mewah bisa dialihkan sementara ke perlindungan sosial mudik,” lanjut Achmad.
Misalnya, mengalokasikan 1% dari anggaran IKN atau setara dengan Rp4,66 triliun untuk subsidi transportasi mudik yang cukup untuk menggratiskan 2 juta tiket bus atau 500.000 tiket kereta ekonomi.
Adapun prediksi penurunan perputaran ekonomi mudik hingga Rp20 triliun dari tahun lalu menjadi alarm keras bahwa kebijakan pemerintah selama ini tidak menjawab kebutuhan dasar rakyat.
Padahal, mudik yang menjadi penggerak ekonom setiap tahunnya, seharusnya menjadi momentum pemerintah membuktikan komitmennya.
Menurut Achmad, tanpa perubahan paradigma, kebijakan mudik dan agenda pembangunan lainnya, akan tetap menjadi drama tahunan yang berujung pada kekecewaan publik.
Bahkan sebelumnya, Ekonom Center on Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengamini bahwa prediksi jumlah pemudik yang lebih rendah menjadi salah satu indikator terkait kemampuan konsumsi masyarakat saat Ramadan dan juga jelang lebaran nanti.
Apalagi, jika indikator dari jumlah pemudik ini nantinya dikombinasikan dengan indikator lain seperti misalnya indikator penjualan riil, kemudian indikator pengunjung pusat perbelanjaan yang di beberapa kesempatan disampaikan mengalami perlambatan dibandingkan tahun lalu.
Yusuf berpandangan, beberapa kondisi tersebut dapat menjadi merupakan indikasi kuat terkait lebih lambatnya konsumsi rumah tangga di Ramadan dan jelang Lebaran tahun ini dibandingkan tahun lalu.
“Saya kira ini juga akan ikut mempengaruhi bagaimana capaian pertumbuhan ekonomi terutama di kuartal pertama tahun ini,” ungkapnya.