Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Minerba Atur Strategi Hadapi Potensi Kenaikan Royalti

Pengusaha Minerba diperkirakan melakukan efisiensi operasional jika aturan royalti Minerba disahkan pemerinah
Tumpukan batu bara di depan cerobong asap industri dengan latar langit biru./Bloomberg - Waldo Swiegers
Tumpukan batu bara di depan cerobong asap industri dengan latar langit biru./Bloomberg - Waldo Swiegers

Wacana minta diabaikan

Sementara itu, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengumpulkan berbagai masukan dari penambang hingga industri pengolahan dan pemurnian atau smelter mineral terkait dengan permohonan revisi rencana aturan kenaikan tarif royalti mineral pertambangan.  

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan pelaku usaha telah mengumpulkan berbagai masukan dari pihaknya yang menilai rencana kenaikan tarif royalti pertambangan amat memberatkan.

Menurutnya, tarif royalti tidak realistis dan progresif karena kenaikan tarif royalti untuk bijih nikel naik dari 10% menjadi 14% hingga 19% dan produk olahan (FeNi/NP) menjadi 5% hingga 7%. Meidy menilai wacana kenaikan itu tidak mempertimbangkan kondisi riil industri. 

Dia mengatakan, kenaikan tarif royalti dengan besaran tersebut dapat menekan margin produksi dengan cukup signifikan, bahkan di bawah biaya produksi. Hal ini membuat pemegang izin usaha pertambangan (IUP) memilih berhenti beroperasi. 

"Kalau penerapan royalti 14%, ada beberapa IUP yang 'sudahlah tutup saja, daripada produksi, rugi," kata Meidy dalam konferensi pers 'Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan', Senin (17/3/2025). 

Terlebih, saat ini harga nikel global terus mengalami penurunan sehingga beban royalti yang meningkat justru menggerus margin usaha yang sudah tipis. Dia menilai hal ini juga berdampak pada industri smelter. 

Ilustrasi kawasan smelter
Ilustrasi kawasan smelter

Padahal, investasi smelter yang padat modal dan risiko tinggi juga memakan biaya pembangunan mencapai US$1,5 miliar hingga Rp2 miliar per smelter, belum termasuk biaya reklamasi, PNBP, PPM, dan pajak global (Global Minimum Tax) sebesar 15%. 

Meidy pun meminta kebijakan tarif royalti yang progresif, realistis, dan berkeadilan dengan mempertimbangkan formula penyesuaian tarif berdasarkan harga komoditas sehingga royalti meningkat hanya ketika harga nikel di atas level tertentu.  

Kemudian, insentif fiskal untuk smelter, seperti penurunan tarif royalti bagi perusahaan yang telah berinvestasi di hilir. 

"Meninjau ulang skema pajak dan iuran untuk menghindari tumpang-tindih kewajiban (PPN, PPh, PNBP, GST) dan revisi formula HPM bijih nikel untuk memperhitungkan kandungan mineral besi dan kobalt," tuturnya.  

Disahkan Sebelum Lebaran

Dirjen Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, draf revisi dari peraturan kenaikan tarif royalti saat ini sudah berada di Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). 

Menurutnya, semua proses hampir selesai. Oleh karena itu, dia mengungkapkan aturan baru terkait kenaikan tarif royalti minerba itu kemungkinan terbit sebelum Idulfitri atau 31 Maret 2025. 

Tri juga menyebut kenaikan tarif royalti minerba dilakukan demi mengerek Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dia menargetkan PNBP di sektor minerba tembus Rp124,5 triliun tahun ini.

Target PNBP di sektor minerba senilai Rp124,5 triliun tersebut mengalami kenaikan dari target 2024 yang sebesar Rp113, 54 triliun. 


"Tahun ini target Rp124,5 triliun," ujarnya, Senin (24/3/2025). 

Tri memastikan kenaikan tarif royalti tidak akan memberatkan para pengusaha. Dia mengklaim telah melakukan kajian sebelum memutuskan menaikkan royalti minerba. 

Dia bahkan mengaku telah mempelajari laporan keuangan dari setiap perusahaan. Dari hasil penelaahan laporan keuangan itu, Tri meyakini perusahaan tambang masih mampu jika tarif royalti naik.

"Kami sudah melakukan perhitungan. Perhitungan itu berdasarkan pada laporan keuangan dua tahun berturut-turut dari beberapa perusahaan. Kemudian kita evaluasi. Pada saat evaluasi itu dilakukan itu tidak menunjukkan adanya potensi perusahaan itu akan mengalami collaps atau negatif cash flow-nya," ucapnya. 

 

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper