Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso terpantau menyambangi kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian untuk melakukan sosialiasi penerapan tarif perdagangan baru Amerika Serikat (AS) ke Indonesia pada Senin (7/4/2025).
Untuk diketahui, Indonesia dikenai tarif resiprokal sebesar 32% dari AS. Tarif tersebut akan mulai berlaku pada 9 April 2025.
Berdasarkan pantauan Bisnis, Mendag Budi Santoso memasuki lobi Kemenko Perekonomian mengenakan baju batik lengan panjang pada pukul 09.50 WIB. Dalam kesempatan yang sama, hadir pula Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (Dirjen PEN) Kemendag Fajarini Puntodewi.
Selain Kemendag, sederet menteri Presiden Prabowo Subianto yang hadir dalam agenda ini, antara lain Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) III Anggito Abimanyu, dan Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza.
Di samping itu, sederet asosiasi pengusaha seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel), Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), dan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) juga hadir dalam agenda ini.
Sebelumnya, Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai pemerintah harus menempuh upaya lobi-lobi dibandingkan melakukan tarif balasan ke AS, seperti China.
Baca Juga
Menurut Eko, pemerintah harus melakukan negosiasi secara strategis dengan penjelasan yang logis terkait kebijakan Indonesia yang dinilai protektif oleh Trump.
Sebab, lanjutnya, Indonesia bukan negara kontributor utama dalam defisit perdagangan AS. Untuk itu, Eko menyebut langkah reaktif dengan retaliasi tidak perlu menjadi opsi pertama.
“Jalan diplomasi harus diupayakan. Kita [Indonesia] tidak punya kemewahan posisi seperti China yang memilih melakukan retaliasi karena berbagai kemampuan negara tersebut,” kata Eko kepada Bisnis, Sabtu (5/4/2025).
Apalagi, Eko menuturkan bahwa dampak dari kebijakan tarif Trump akan melemahkan perdagangan Indonesia. Dia menyebut, dampak langsungnya relatif moderat lantaran porsi AS sekitar 10% dari total ekspor Indonesia, namun perdagangan dengan AS menjadi kontributor surplus tertinggi pada Januari—Februari 2025.
Alhasil, Eko menyebut pengenaan tarif sebesar 32% ini akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Tanah Air.
“Mengingat ekspor utama Indonesia ke AS sebagian besar produk padat karya, risiko PHK memang meningkat,” tuturnya.
Selain itu, Eko menambahkan pengenaan tarif AS terhadap Indonesia ini juga berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
“Dampak yang lebih perlu diwaspadai adalah dampak tidak langsung/ikutan seperti melemahnya rupiah dan IHSG, serta naiknya imbal hasil utang SBN karena risiko meningkat,” ujarnya.
Di samping itu, sambung dia, jika China, Uni Eropa, dan negara-negara mitra Indonesia melemah, maka dampak tidak langsung juga akan besar terhadap permintaan produk Indonesia.
Melansir dari laman resmi White House, Sabtu (5/4/2025), kebijakan anyar yang mewajibkan perusahaan sumber daya alam (SDA) untuk menempatkan seluruh pendapatan ekspor di dalam negeri untuk transaksi senilai US$250.000 atau lebih menjadi salah satu alasan Trump mengenakan tarif resiprokal 32% untuk Indonesia.
Gedung Putih menyampaikan bahwa selama beberapa generasi, negara-negara telah mengambil keuntungan dari AS dan memberikan tarif dengan tarif yang lebih tinggi.
“Presiden Trump bekerja untuk menciptakan kondisi yang adil bagi bisnis dan pekerja Amerika dengan menghadapi ketidakadilan perbedaan tarif dan hambatan non-tarif yang diberlakukan oleh negara-negara lain,” demikian yang dikutip dari laman resmi Gedung Putih.
Trump menyebut, tarif moneter dan tarif non-moneter adalah dua jenis hambatan perdagangan yang berbeda yang digunakan pemerintah untuk mengatur impor dan ekspor.
“Presiden Trump membalas keduanya melalui tarif timbal balik untuk melindungi pekerja dan industri Amerika dari praktik-praktik yang tidak adil ini,” tandasnya.