Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengklaim realisasi penerimaan pajak pada Maret 2025 lebih tinggi dibandingkan Maret 2024.
Febrio belum menyampaikan angka detail. Ia hanya menyebut telah terjadi pembalikan (turnaround) setelah penurunan penerimaan pajak secara tahunan (year on year/YoY) hingga Februari 2025.
"Kita melihat di bulan Maret-nya, penerimaan pajak itu sudah positif year on year-nya. Nanti kita akan detailkan lagi," kata Febrio di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (7/4/2025).
Ia menyatakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan terus menjaga postur fiskal tetap sehat, terutama dari sisi penerimaan. Febrio menjelaskan bahwa penurunan penerimaan pajak pada dua bulan pertama 2025 disebabkan oleh restitusi dan kelebihan bayar akibat penerapan tarif efektif rata-rata (TER) PPh 21.
Namun, kini efek restitusi dan lebih bayar TER PPh 21 tersebut dinilai sudah tidak terlalu terasa, sehingga penerimaan pajak pada Maret 2025 telah kembali meningkat secara tahunan.
Sebagai informasi, realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp187,8 triliun per Februari 2025, turun 30,2% YoY dibandingkan Februari 2024 yang mencapai Rp269,02 triliun.
Baca Juga
Adapun realisasi penerimaan pajak pada Maret 2024 mencapai Rp393,91 triliun. Oleh karena itu, jika klaim Febrio benar, maka penerimaan pajak Maret 2025 setidaknya harus bertambah lebih dari Rp207 triliun.
Coretax Biang Kerok
Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia Prianto Budi Saptono menilai bahwa permasalahan implementasi sistem Coretax menjadi penyebab utama penurunan penerimaan pajak pada awal tahun.
Menurutnya, sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025, Coretax terus mengalami gangguan teknis. Padahal, proses bisnis pembayaran pajak hanya dapat dilakukan melalui sistem tersebut.
"Makanya, secara praktis pembayaran pajak tidak dapat dilakukan di bulan Januari 2025 ketika Coretax bermasalah," kata Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu kepada Bisnis, Rabu (12/3/2025).
Ia menambahkan, jenis pajak yang paling terdampak berasal dari kelompok yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak, seperti pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak bumi dan bangunan (PBB) khusus sektor pertambangan.
Senada, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan penerimaan pajak terkontraksi, yakni gangguan implementasi Coretax, penerapan kebijakan tarif efektif rata-rata (TER), dan peningkatan restitusi PPN.
Menurutnya, ketiga faktor tersebut bersifat sementara. Oleh sebab itu, ia optimistis bahwa penerimaan pajak dapat kembali meningkat.
"Perbaikan ini terjadi karena saya melihat dampak utamanya adalah operational risk [risiko operasional], begitu pula dampak dari kebijakan TER maupun restitusi PPN yang diperkirakan akan berkurang dalam beberapa bulan ke depan," ujar Fajry kepada Bisnis, Kamis (13/3/2025).
Meski demikian, Fajry menggarisbawahi bahwa secara fundamental, kinerja perpajakan sangat bergantung pada kondisi ekonomi. Jika perekonomian membaik, maka target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun sepanjang 2025 dinilai masih realistis.
"Jika kondisi makro tidak jauh dari asumsi APBN—seperti pertumbuhan ekonomi 5,2%—dan masih dikelola oleh orang yang tepat, saya masih yakin dengan kondisi kesehatan keuangan negara kita," tutupnya.