Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tarif Royalti Minerba Resmi Naik, Mampu Tambal Defisit APBN?

Pemerintah resmi mengerek tarif royalti mineral dan batu bara untuk mengerek penerimaan negara.
Suasana penggalian tambang nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Suasana penggalian tambang nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Pakar pertambangan menilai langkah pemerintah menaikkan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) guna mengerek target pendapatan negara bukan pajak (PNBP) tak cukup realistis untuk menambal defisit APBN dan berisiko bagi industri pertambangan nasional. 

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengatakan, pemerintah memang sedang membutuhkan tambahan penerimaan negara karena defisit besar APBN. 

“Sebenarnya tidak realistis dan berat untuk mencapai target menutup kekurangan APBN, tetapi lumayan ini salah satu upaya pemerintah yang paling tidak bisa ada tambahan cash dana masuk untuk APBN,” kata Bisman kepada Bisnis, Rabu (16/4/2025).

Pemerintah diketahui tengah berupaya menutup defisit APBN yang cukup besar melalui peningkatan penerimaan negara. Sektor minerba menjadi salah satu sasaran utama karena dinilai memiliki potensi kontribusi yang signifikan.

Alih-alih mengerek target PNBP sektor ESDM, kenaikan tarif royalti sektor minerba justru dinilai akan memberikan tekanan besar bagi pelaku usaha pertambangan yang saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan ekonomi.

“Dengan kondisi ekonomi yang memang tidak baik, apalagi ditambah berbagai kebijakan akhir-akhir ini seperti kenaikan PPN, DHE [devisa hasil ekspor], serta harga komoditas yang tidak bagus maka kebijakan kenaikan royalti ini akan sangat memberatkan bagi pelaku usaha,” ujarnya. 

Menurut dia, langkah ini berisiko mengorbankan operasional hingga berpotensi memicu penundaan rencana pengembangan. Apalagi, tekanan ekonomi dan fiskal yang berlapis dapat menurunkan daya saing sektor tambang nasional. 

Bisman melihat banyak perusahaan harus meninjau kembali rencana ekspansi dan operasional jangka pendek untuk tetap bertahan. Meski demikian, dia masih melihat prospek positif dari komoditas nikel dalam jangka panjang. 

“Untuk nikel masih akan prospek, walaupun dalam waktu dekat ini akan goyang dan harga kurang bagus. Namun, ke depan tetap akan prospek, apalagi jika proyek-proyek hilirisasi sudah bisa jalan, maka nilai ekonomi nikel akan semakin meningkat,” terangnya.

Bisman menuturkan bahwa pelaku usaha tidak memiliki pilihan selain mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan. Pelaku usaha mau tidak mau harus menjalankan aturan baru itu. 

“Dengan beban operasi yang semakin besar dan tambahan kenaikan royalti, maka yang bisa dilakukan adalah dengan penyesuaian operasional dan proses produksi,” imbuhnya. 

Dalam hal ini, pelaku usaha akan membuat skala prioritas dan efisiensi, dan jika benar-benar terpaksa bisa menunda investasi dan pengembangan. 

“Kita berharap atas kebijakan ini tidak sampai menjadikan operasi terhenti dan terjadi PHK [pemutusan hubungan kerja],” ujar Bisman.

Penyesuaian strategi dan efisiensi operasional dinilai menjadi solusi jangka pendek yang paling memungkinkan, meskipun tidak menjamin perlindungan terhadap risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Untuk itu, dia berharap pemerintah tetap membuka ruang dialog dengan pelaku usaha untuk mencari solusi yang seimbang antara kebutuhan fiskal dan keberlanjutan industri tambang nasional.

“Jika tidak ada keseimbangan, dikhawatirkan dampak lanjutan dari kebijakan ini justru akan menggerus produktivitas sektor pertambangan dan berdampak negatif pada perekonomian nasional,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno juga menyebut kenaikan tarif royalti minerba dilakukan demi mengerek PNBP. Pihaknya menargetkan PNBP di sektor minerba tembus Rp124,5 triliun tahun ini. 

Target PNBP di sektor minerba senilai Rp124,5 triliun tersebut mengalami kenaikan dari target 2024 yang sebesar Rp113,54 triliun.

“Tahun ini target Rp124,5 triliun," ujarnya, Senin (24/3/2025).

Tri memastikan kenaikan tarif royalti tidak akan memberatkan para pengusaha. Dia mengeklaim telah melakukan kajian sebelum memutuskan menaikkan royalti minerba. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper