Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) menilai penyesuaian tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) telah sesuai dengan masukkan dari pelaku usaha, utamanya terkait kebijakan royalti dinamis.
Adapun, aturan baru tarif royalti minerba tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian ESDM.
Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugroho mengatakan pihaknya telah mengusulkan kebijakan royalti dinamis (dynamic tariff atau progresif) sesuai dengan harga komoditas minerba, terutama batu bara dan nikel.
“Aspebindo telah mendorong agar tarif royalti menyesuaikan dengan harga komoditas atau dinamis. Apabila harga naik, maka tarif royalti ikut naik, dan apabila turun maka penjualan akan terkena tarif yang lebih rendah, sebagaimana tercantum di dalam PP No 18 dan 19 Tahun 2025,” kata Fathul kepada Bisnis, Rabu (16/4/2025).
Namun, menurut Fathul, kenaikan tarif royalti juga perlu diiringi dengan kebijakan pendukung, seperti insentif fiskal atau penyederhanaan perizinan di sektor minerba.
Dengan demikian, kenaikan tarif royalti masih bisa terkompensasi dan tidak serta merta penambang menaikkan harga jual yang akan mengakibatkan demand shock di mana permintaan turun akibat kenaikan harga, sekaligus memastikan daya saing terjaga.
Baca Juga
"Investor cenderung menghindari ketidakpastian. Nah, kami berharap, kenaikan tarif royalti ini cukup sekali ini dalam 5 tahun ke depan, sehingga lebih memberikan kepastian usaha,” tambahnya.
Fathul berharap hasil dari kenaikan PNBP dapat juga kembali ke sektor minerba, seperti pendanaan hilirisasi batubara dan mineral, sehingga sektor minerba dapat tetap terus bertumbuh.
Apabila pemerintah mampu menjaga keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan iklim investasi yang kondusif, minat investasi di sektor pertambangan tetap akan positif.
Di samping itu, kenaikan tarif royalti tentu berpotensi meningkatkan PNBP, terutama saat harga komoditas tinggi.
“Dengan kenaikan tarif sebagaimana di dalam PP 18 dan 19 2025, PNBP Minerba tahun 2025 diproyeksikan bisa naik sekitar 30-40%, atau naik menjadi sekitar Rp185,74 triliun — Rp200,03 triliun dari tahun 2024 sebesar Rp142,88 triliun,” jelasnya.
Dengan potensi kenaikan PNBP royalti Minerba tersebut, pihaknya mengusulkan agar ada alokasi khusus sebesar 20% dari PNBP royalti minerba yang masuk ke kas negara dialokasikan untuk percepatan hilirisasi minerba.
"Apabila 20% dari PNBP tersebut yang nilainya diperkirakan sekitar Rp37 triliun hingga Rp50 triliun pada tahun 2025, maka proyek seperti DME dan smelter nikel dapat dibiayai secara mandiri oleh sektor minerba,” tuturnya.
Tak hanya itu, alokasi tersebut juga dapat dikucurkan untuk berbagai riset dan pengembangan SDM dan Universitas.
Di sisi lain, dia menilai harga komoditas di pasar internasional lebih dipengaruhi oleh permintaan global dan geopolitik. Kenaikan royalti, menurut dia, tidak akan terlalu signifikan memengaruhi harga ekspor, tetapi berpotensi menaikkan biaya produksi untuk pasar domestik jika tidak diimbangi efisiensi.
“Kami mendorong pemerintah dipimpin oleh Menteri ESDM untuk bernegosiasi dengan negara-negara buyer seperti China, India, Jepang, Korsel, dan Asean agar menggunakan HBA dan HMA dalam kontrak-kontrak pembelian batubara dan mineral,” pungkasnya.