Bisnis.com, JAKARTA — Dunia usaha menyebut gerak cepat dan proaktif pemerintah untuk bernegosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait tarif timbal balik alias tarif resiprokal merupakan dukungan nyata untuk industri dalam negeri. Namun, pemerintah juga perlu melakukan berbagai upaya alternatif lain untuk mengantisipasi dinamika kebijakan perdagangan AS.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani melihat langkah ini sebagai dukungan nyata pemerintah terhadap kepentingan menciptakan daya saing yang terbaik bagi pelaku usaha. Begitu pun dengan produk ekspor Indonesia di pasar Negara Paman Sam.
Namun, Shinta menekankan dunia usaha juga harus melihat perkembangan dari negosiasi tarif yang dikenakan AS untuk Indonesia. Menurutnya, dunia usaha perlu mengetahui sejauh mana Indonesia bisa memperoleh liberalisasi atau penurunan tarif yang diinginkan di pasar AS dengan berbagai trade off yang ditawarkan pemerintah ke pada AS.
“Secara realistis, kita tidak bisa berharap banyak atau tergantung pada pencapaian kesepakatan dalam negosiasi yang sedang berjalan,” kata Shinta kepada Bisnis, Jumat (25/4/2025).
Misalnya saja, kata Shinta, volatilitas kebijakan perdagangan AS yang sangat tinggi dan bukan hanya kebijakan tarif yang tak konsisten. Namun, juga ada hal-hal lain yang diformulasikan dan diputuskan menteri Presiden AS Donald Trump, menteri keuangan (menkeu) AS dan United States Trade Representative (USTR) yang dinilai tidak selalu sejalan dengan apa yang akhirnya diputuskan oleh Trump, ataupun sebaliknya.
“Kita juga lihat bahwa negara-negara yang sebelumnya sudah berhasil menciptakan kesepakatan dengan Trump seperti Meksiko, Kanada, Korea, dan Singapura akhirnya juga tetap dikenakan terkena tarif tambahan oleh AS,” imbuhnya.
Baca Juga
Dia pun mengimbau agar pemerintah Indonesia juga harus siap mengantisipasi berbagai faktor jika kesepakatan yang dicapai tidak sesuai harapan atau tidak diindahkan oleh AS.
Dalam hal ini, Indonesia harus tetap melakukan berbagai upaya alternatif untuk menstabilkan ekspor, stabilitas makro, dan kinerja pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
“Kami mendorong pemerintah agar jangan hanya fokus pada penciptaan bilateral deal dengan AS, tapi harus terlebih fokus dalam mempercepat realisasi upaya penciptaan stabilitas makro, stimulus kinerja ekspor, dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” tuturnya.
Butuh Stimulus
Lebih lanjut, Shinta menuturkan, saat ini dunia usaha membutuhkan stimulus percepatan simplifikasi regulasi usaha dan peningkatan efisiensi biaya berusaha di Indonesia seperti perintah Presiden Prabowo Subianto.
Dia berharap stimulus ini bisa dapat segera direalisasikan oleh pemerintah. Sebab, untuk menjamin peningkatan daya saing usaha dan produk nasional di pasar dalam dan luar negeri atau daya saing ekspor.
Apalagi, lanjut dia, tanpa adanya simplifikasi regulasi dan peningkatan efisiensi biaya berusaha, Indonesia akan sangat sulit melakukan pengalihan pasar ekspor.
“Jangankan pengalihan pasar ekspor, produk-produk industri kita pun bisa kalah saing dan terhimpit oleh produk-produk impor di pasar dalam negeri bila kita tidak memiliki iklim usaha yang memungkinkan industri-industri di dalam negeri memproduksi berbagai barang/jasa secara cost-efficient,” tuturnya.
Di sisi lain, jika berbicara terkait peralihan ekspor, Shinta menilai hal ini nyatanya tidak semudah bisa dilakukan. Pasalnya, tidak semua produk ekspor bisa segera dijual ke negara lain.
Bukan hanya itu, tidak semua negara juga bisa menyerap produk ekspor nasional yang teralihkan/tidak bisa diserap pasar AS imbas kenaikan tarif.
Di samping kebijakan nontarif atau nontariff measures (NTMs), Shinta mengatakan, hambatan perdagangan yang menyebabkan peralihan ekspor tidak dapat dengan cepat atau dengan mudah dilakukan oleh pelaku usaha (eksportir) nasional seperti karakter permintaan pasar-pasar alternatif yang berbeda.
Kemudian, daya serap atau daya beli pasar yang juga berbeda hingga perbedaan peran pembeli dalam memfasilitasi ekspor Indonesia ke negara tujuan.
Maka dari itu, eksportir nasional perlu banyak dukungan dari pemerintah secara finansial dan non-finansial untuk bisa memanfaatkan potensi pasar-pasar alternatif untuk memaksimalkan kinerja ekspor dengan memanfaatkan pasar non-tradisional atau melakukan peralihan ekspor, jika AS mempertahankan kebijakan tarifnya.
Meski demikian, sambung dia, peralihan ekspor ini pun tidak bisa dengan cepat dilakukan lantaran eksportir nasional juga perlu melihat potensi berbagai pasar alternatif yang mungkin sebelumnya belum pernah dijajaki.
“Sehingga tentu perlu waktu untuk mempelajari pasar dan menciptakan trust dengan rekan usaha di negara baru. Jadi jangan dianggap peralihan ekspor itu bisa mudah atau cepat,” ujarnya.
Apalagi di tengah dinamika global membuat peralihan perdagangan juga akan semakin sulit dilakukan. Maksudnya, semua negara memiliki kepentingan yang sama dengan Indonesia sehingga semua negara juga berusaha untuk melakukan diversifikasi ekspor dan mengalihkan ekspor dari AS ke negara lain.
“Jadi persaingan dagang semakin tinggi di pasar global. Risiko proteksionisme terhadap perdagangan/ekspor dari negara lain juga sangat tinggi karena semua negara khawatir negaranya kebanjiran impor yang di-dumping negara lain,” ungkapnya.
Imbasnya, mau tak mau pemerintah di semua negara meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi dumping, subsidi perdagangan, dan lonjakan impor yang merugikan industri, serta persaingan pasar.
Dengan kata lain, semua negara akan berupaya menjaga dan mengendalikan volume perdagangan dengan berbagai instrumen.
“Karena itu, ekspor Indonesia sebaiknya diekspor secara kompetitif karena memiliki tingkat efisiensi produksi yang tinggi,” pungkasnya.