Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan alasan mendasar pemberlakukan tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump, yakni akibat negara tersebut merasa terzalimi dan adanya ketidakadilan atas sistem global.
Sri Mulyani yang baru saja kembali dari Washington D.C dalam rangka menghadiri pertemuan G20 dan IMF—World Bank Spring Meetings, menyampaikan bahwa keluhan tersebut diungkapkan oleh Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan menjadi topik pembicaraan oleh para perwakilan dunia.
“Headline dan topik paling menonjol dalam pernyataan AS [dalam pertemuan tersebut] bahwa mereka adalah merasa dizalimi oleh sistem global. Tiba-tiba di forum ini Menteri Keuangan AS mengakatan we are treated unfairly,” ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (30/4/2025).
Padahal, kata Sri Mulyani, rezim global yang saat ini berlangsung diciptakan oleh AS itu sendiri usai memenangkan Perang Dunia II.
Sebut saja pembentukan World Trade Organization (WTO), Bank Dunia atau World Bank, International Monetary Fund (IMF). Kini, kebijakan tarif resiprokal dari Trump membuat lembaga-lembaga tersebut tidak lagi memiliki kekuatan.
Sri Mulyani melanjutkan bahwa AS menganggap sistem tersebut tidak menguntungkan Negeri Paman Sam. Salah satunya, saat seluruh negara di dunia melakukan praktik investasi perdagangan dengan memberikan umpan berupa subsidi kepada dunia usaha.
Baca Juga
Dirinya pun sempat menyampaikan dalam forum tersebut, bahwa umumnnya negara yang merasa terzalimi adalah negara-negara berkembang.
“Ternyata yang terzalimi tidak hanya negara berkembang, tetapi negara paling kuat dan paling besar ekonominya di dunia merasa bahwa the global system is unfair yang memunculkan ketidakseimbangan,” lanjutnya.
Imbas dari kebijakan taris resiprokal Trump ini, terjadi ketidakseimbangan dan berujung pada volatilitas global. Seperti terjadinya aliran modal ke aset dan negara yang dianggap aman, termasuk emas. Sementara itu, suku bunga tertahan tinggi.
Dalam pertemuan Sri Mulyani bersama perwakilan dunia tersebut, masih belum muncul konsensus atau kesepakatan untuk menghadapi tantangan global ini.
“Kalau globalisasi tidak adil, ketidakseimbangan menyebabkan konsekuensi setiap negara, bagaimana mengoreksi untuk menciptakan keseimbangan baru? Apa yang akan menjadi konsekuensinya dalam equilibrium baru? Ini yang belum terumuskan,” jelasnya.