Bisnis.com, JAKARTA – Penetapan status internasional pada tiga bandara di Indonesia belum tentu langsung mendatangkan gelombang minat dari maskapai penerbangan. Para pelaku industri menegaskan bahwa status bandara internasional bukan jaminan utama bagi operator untuk membuka rute penerbangan ke luar negeri.
Indonesia National Air Carriers Association (INACA) atau menyatakan bahwa penentu utama dalam membuka rute tetap bergantung pada kekuatan pasar, bukan status administratif bandara. Sekjen INACA Bayu Sutanto mengatakan bahwa maskapai hanya akan melirik peluang penerbangan internasional jika potensi permintaannya cukup menjanjikan.
“Banyak bandara berstatus internasional, tapi operasionalnya justru lebih banyak dipenuhi oleh penumpang domestik atau pekerja migran. Kalau tidak ada demand yang kuat, maskapai tidak akan buka rute,” ujar Bayu, Senin (28/4/2025).
Dia menambahkan bahwa selama ini hanya beberapa bandara yang betul-betul menjadi pintu gerbang utama penumpang internasional, seperti Soekarno-Hatta, Ngurah Rai Bali, Juanda Surabaya, YIA Kulon Progo, dan Sam Ratulangi di Manado. Sisanya masih sangat tergantung pada pasar pekerja migran dan jemaah umrah.
Tiga bandara yang baru menyandang kembali status internasional adalah Bandara Jenderal Ahmad Yani (Semarang), Bandara S.M. Badaruddin II (Palembang), dan Bandara H.A.S. Hanandjoeddin (Belitung). Penetapan ini diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 26 Tahun 2025.
Bayu menyebut, pengembalian status tersebut pada dasarnya menanggapi aspirasi dari pemerintah daerah, termasuk usulan dari masing-masing gubernur. Pengurangan jumlah bandara internasional pada 2024 lalu dianggap belum memperhatikan kebutuhan regional yang berkembang.
Baca Juga
Di Jawa Tengah, Gubernur Ahmad Luthfi menyambut antusias status baru Bandara Ahmad Yani. Menurutnya, sejumlah maskapai telah menyatakan komitmennya untuk membuka rute luar negeri dari bandara tersebut.
“AirAsia, Scoot, dan Malindo sudah bersiap melayani penerbangan dari Semarang ke Singapura dan Malaysia. Ini langkah besar bagi kami,” ujarnya dalam pernyataan resmi, Selasa (29/4/2025).
Namun, pernyataan tersebut tidak sepenuhnya dikonfirmasi oleh pihak maskapai. AirAsia Indonesia menyatakan masih dalam tahap evaluasi terkait rute internasional, dan fokus mereka saat ini justru lebih condong ke penguatan rute domestik.
Eddy Krismeidi, Head of Indonesia Affairs and Policy AirAsia Indonesia, menyebut bahwa dalam waktu dekat maskapai akan membuka rute dari Denpasar ke Adelaide. Sementara rute internasional lainnya masih dalam kajian lebih lanjut.
“Bali-Darwin sudah kami buka, dan Adelaide akan menyusul. Untuk rute dari bandara lain, termasuk Semarang, masih kita pertimbangkan,” katanya.
Eddy enggan memberikan pernyataan pasti terkait kemungkinan pengoperasian rute dari Bandara Ahmad Yani. Dia menyebut bahwa segala keputusan tergantung pada evaluasi internal dan regulasi yang berlaku.
Sementara itu, PT Angkasa Pura Indonesia atau InJourney Airports selaku operator bandara menyatakan bahwa pihaknya tengah mempersiapkan infrastruktur dan prosedur operasional guna mendukung layanan internasional.
Direktur Utama InJourney Airports, Faik Fahmi, menjelaskan bahwa fokus utama saat ini adalah memastikan kesiapan unsur CIQ (custom, immigration, quarantine) serta aspek keamanan dan pelayanan.
“Kita pastikan unit pendukung seperti bea cukai, imigrasi, dan karantina tersedia lengkap. Ini syarat mutlak agar penerbangan internasional bisa dilayani dengan standar yang baik,” kata Faik, Senin (28/4/2025).
Namun Faik mengakui bahwa rute internasional yang akan dibuka masih dalam tahap pembahasan bersama maskapai. Dia juga menekankan pentingnya kerja sama strategis untuk mendorong pembukaan rute.
Penetapan bandara internasional, menurut Faik, tidak hanya soal nama, tetapi juga merupakan upaya untuk mendorong ekonomi daerah, memperluas akses wisatawan asing, dan mempermudah jalur perdagangan dan investasi.
“Di dalam waktu dekat, akan diinformasikan rute internasional mana saja yang akan dibuka,” jelasnya.
InJourney menargetkan transformasi menyeluruh di tiga bandara melalui pendekatan berbasis Premises, People, Process yang mengacu pada standar global. Teknologi akan menjadi elemen utama untuk mendukung layanan.
Direktur Operasi InJourney Airports, Wendo Asrul Rose, menambahkan bahwa ketiga bandara tersebut sejatinya sudah pernah melayani penerbangan internasional. Karena itu, proses reaktivasi relatif lebih cepat.
“Personel dan infrastruktur sudah ada. Koordinasi tinggal dilakukan dengan regulator dan maskapai. Semua fasilitas CIQ juga sudah siap,” jelas Wendo.
Sementara dari sisi kapasitas, Bandara Ahmad Yani saat ini mampu menampung hingga 6,9 juta penumpang per tahun. Bandara S.M. Badaruddin II memiliki kapasitas 3,2 juta, dan Hanandjoeddin sebanyak 550 ribu penumpang.
Corporate Secretary InJourney Airports, Arie Ahsanurrohim menyebut bahwa belum ada rencana revitalisasi besar. Fokus perusahaan adalah optimalisasi kapasitas dan operasional yang sudah ada.
“Kita optimalkan dulu kapasitas yang tersedia sambil menunggu proses flight approval,” katanya.
Meski begitu, pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Tory Damantoro, mengingatkan bahwa status internasional hanyalah salah satu faktor. Yang lebih penting adalah ada tidaknya pasar dan konektivitas yang memadai.
Tory mencontohkan kegagalan Bandara Kertajati yang sejak awal sudah berstatus internasional namun gagal menarik maskapai karena minimnya aktivitas ekonomi di sekitarnya.
“Bandara besar tanpa pasar itu mubazir. Kita harus belajar dari Kertajati agar tidak mengulang kesalahan yang sama,” ucap Tory.
MTI mendorong pemerintah melakukan penataan ulang sistem kebandarudaraan nasional. Peran daerah dan pusat harus sinkron, dan setiap keputusan strategis perlu berbasis data permintaan.
Ke depan, keberhasilan bandara internasional baru akan ditentukan bukan oleh status administratif, melainkan oleh sinergi yang nyata antara pemerintah, operator bandara, dan maskapai dalam menjawab kebutuhan pasar.