Bisnis.com, JAKARTA — Tax buoyancy atau elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi berada di angka -2,78 pada kuartal I/2025. Nilai tersebut memburuk dibandingkan realisasi tax buoyancy kuartal I/2024 di angka -1,6.
Dalam kondisi ideal, nilai tax buoyancy adalah 1. Angka ini menandakan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan peningkatan penerimaan pajak sebesar 1%.
Nilai tax buoyancy diperoleh dari perhitungan persentase perubahan penerimaan perpajakan dibagi dengan persentase perubahan produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, penerimaan perpajakan turun sebesar 13,56% (year on year/YoY) pada kuartal I/2025. Sementara itu, Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai 4,87% (YoY) pada kuartal I/2025.
Artinya, nilai tax buoyancy Indonesia berada di angka -2,78. Nilai itu menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi nasional malah menghasilkan penurunan penerimaan pajak sebesar -2,78%.
Dengan demikian penerimaan pajak bukan hanya tidak responsif atau elastis terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, melainkan kontraktif (penerimaan pajak bergerak berlawanan dengan pertumbuhan ekonomi).
Baca Juga
Pada periode yang sama tahun lalu atau kuartal I/2024, nilai tax bouyancy Indonesia juga berada di level kontraksi yaitu -1,6. Hanya saja, otoritas pajak bisa memperbaiki kinerja pemungutan pajaknya sehingga pada akhir tahun nilai tax bouyancy berada di level ekspansif yaitu 0,71—meskipun belum ideal.
Upaya Otoritas Pajak
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan atau Ditjen Pajak menyatakan akan terus meningkat penerimaan pajak agar rasionya terhadap pertumbuhan ekonomi bisa meningkat.
Direktur P2Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti menjelaskan setidaknya ada lima upaya yang akan dilakukan otoritas pajak. Pertama, memperluas basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
"Kedua, mendorong tingkat kepatuhan melalui pemanfaatan teknologi sistem perpajakan, memperkuat sinergi, joint programme, serta penegakan hukum," ujar Dwi Astuti kepada Bisnis, dikutip Jumat (9/5/2025).
Ketiga, menjaga efektivitas implementasi reformasi perpajakan dan harmonisasi kebijakan perpajakan internasional untuk mendorong peningkatan rasio perpajakan.
Keempat, memberikan insentif perpajakan yang semakin terarah dan terukur guna mendukung iklim dan daya saing usaha, serta transformasi ekonomi yang bernilai tinggi.
Kelima atau terakhir, mendorong penguatan organisasi dan sumber daya manusia sejalan dengan dinamika perekonomian.