Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Jenderal Pajak Periode 2015—2017 Ken Dwijugiasteadi mengungkapkan bahwa terkikisnya jumlah kelas menengah menjadi penyebab tren penurunan rasio pajak beberapa tahun terakhir.
Ken menjelaskan bahwa selama ini salah satu sumber utama penerimaan pajak berasal dari pajak pertambahan nilai (PPN) yang tergantung konsumsi masyarakat. Masalahnya, konsumsi ditopang oleh masyarakat kelas menengah.
"Kalau kelas menengahnya turun, ya konsumsinya menurun, pajaknya [otomatis] turun," ujar Ken dalam Diskusi Panel IKPI di Jakarta Selatan, Senin (19/5/2025).
Memang, PPN—termasuk PPnBM—menyumbang hingga 42,9% dari total penerimaan pajak pada tahun lalu sebesar Rp1.932,4 triliun.
Sementara dalam dua tahun terakhir, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) terus turun: 10,41% pada 2022; 10,31% pada 2023, dan 10,07% pada 2024.
Lebih dari itu, Ken menjelaskan menilai rasio pajak sebagai parameter keberhasilan penguatan pajak sedikit bermasalah. Alasannya, rumusan perhitungan rasio pajak kerap berbeda di banyak negara.
Dia mencontohkan, di Indonesia rasio pajak dihitung berdasarkan pembagian atas penerimaan perpajakan (pajak+kepabeanan) dan PDB. Sementara itu, Ken menjelaskan bahwa pajak daerah hingga iuran BPJS/asuransi masuk dalam perhitungan rasio pajak di banyak negara maju terutama anggota OECD.
Oleh sebab itu, dia lebih suka dengan perhitungan tax bouyancy atau elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, tax bouyancy lebih tepat sebagai parameter keberhasilan penguatan pajak.
Perhitungan nilai tax buoyancy diperoleh dari perhitungan persentase perubahan penerimaan perpajakan dibagi dengan persentase perubahan PDB.
"Makanya kalau saya, ngukur penerimaan pajak jangan dari tax ratio [rasio pajak], dari tax bouyancy," jelasnya.
Nilai tax buoyancy Indonesia sendiri berada di angka 0,71 pada 2024. Nilai tersebut menurun dibandingkan realisasi tax buoyancy pada 2023 yang mencapai 1,17.
Dalam kondisi ideal, nilai tax buoyancy adalah 1. Angka ini menandakan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan peningkatan penerimaan pajak sebesar 1%.
Artinya, nilai tax bouyancy 0,71 menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi nasional hanya menghasilkan kenaikan penerimaan pajak sebesar 0,71%.
Dengan demikian, penerimaan pajak pada tahun lalu bersifat tidak elastis, karena pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menyampaikan bahwa rasio pajak tidak bisa dilihat sebagai indikator tunggal yang mencerminkan kinerja otoritas pajak.
Menurutnya, rasio pajak sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural dan makroekonomi yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali Direktorat Jenderal Pajak. Dia mencontohkan, penerimaan pajak sangat dipengaruhi oleh investasi hingga konsumsi masyarakat yang bukan sepenuhnya tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak.
Oleh sebab itu, dia menekankan pentingnya para pembuat kebijakan untuk memahami bahwa rasio pajak merupakan tanggung jawab kolektif seluruh pemerintah, bukan hanya otoritas pajak.
“Yang harus kita lihat adalah peran semua pihak dari kementerian ekonomi, kementerian investasi, pelaku usaha, sampai masyarakat wajib pajak,” ujar Vaudy pada kesempatan yang sama.