Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menanti Hasil Negosiasi RI usai AS-China Sepakat Turunkan Tarif

Pemerintah menargetkan negosiasi tarif resiprokal dengan AS akan selesai dalam 60 hari, tepatnya Juni 2025 nanti. Bagaimana perkembangannya?
Presiden AS Donald Trump menunjukkan perintah eksekutif yang telah ditandatangani saat pengumuman tarif di Rose Garden, Gedung Putih, Washington, DC, AS, pada hari Rabu (2/4/2025). / EPA/Bloomberg-Jim Lo Scalo
Presiden AS Donald Trump menunjukkan perintah eksekutif yang telah ditandatangani saat pengumuman tarif di Rose Garden, Gedung Putih, Washington, DC, AS, pada hari Rabu (2/4/2025). / EPA/Bloomberg-Jim Lo Scalo

Bisnis.com, JAKARTA — Proses negosiasi tarif resiprokal masih terus berlangsung antara tim teknis Indonesia dan Amerika Serikat, sementara Donald Trump dan Xi Jinping telah mencapai kesepakatan 'gencatan senjata' tarif impor kedua negara.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro mengungkapkan bahwa proses negosiasi itu terus berlangsung. Namun, dirinya tak dapat memberikan info hasil negosiasi terkini karena proses masih berlangsung. 

“Saat ini tim teknis sedang dan terus bekerja [negosiasi tarif resiprokal],” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (13/5/2025). 

Sebagai catatan, pemerintah Indonesia memang menargetkan negosiasi tarif 32% selama 60 hari. Artinya, negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) seharusnya rampung pada 8 Juni terhitung sejak penundaan tarif pada 9 April 2025—atau selesai pada 16 Juni 2025 jika dihitung sejak 17 April 2025, ketika negosiasi awal berlangsung. 

Dengan demikian, masyarakat masih perlu menanti hasil dari pembahasan tersebut sekitar satu bulan mendatang. 

Selain Kementerian Keuangan yang ikut serta dalam proses negosiasi, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto—yang memimpin negosiasi di AS pada April lalu—pun irit bicara terkait perkembangan terkini. 

Pasalnya, pemerintah telah menandatangani non-disclosure agreement (NDA) yang menjadi tanda awal negosiasi. Sekretaris Kemenko bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut artinya kedua negara tidak menyampaikan secara detail kepada publik terkait hasil atau perkembangan dari proses negosiasi yang masih berlangsung. 

“USTR dan pemerintah Amerika mereka sangat monitor semuanya,” ungkapnya dalam acara Bisnis Indonesia Forum (BIF) pekan lalu. 

Dalam kesempatan tersebut pula, Susi hanya menegaskan bahwa saat ini tarif yang diusahakan turun adalah tarif resiprokal, bukan tarif Most Favored Nation (MFN), tarif tambahan 10%, ataupun tarif sektoral. 

Tercatat selama proses negosiasi berlangsung atau sejak keberangkaatan tim negosiasi ke AS pada 15 April, pemerintah telah melaksanakan dua kali konferensi pers dalam rangka menyampaikan hasil perundingan. 

Pertama, pada 18 April 2025. Di mana Airlangga bersama Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu mengumumkan bahwa Indonesia dan AS sepakat negosiasi rampung dalam 60 hari. 

“Indonesia dan AS bersepakat untuk menyelesaikan perundingan ini dalam 60 hari, dan sudah disepakati kerangka atau framework acuannya,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Jumat (18/4/2025). 

Kedua, selang sepekan kemudian atau pada 25 April 2025. Airlangga menyampaikan bahwa tawaran yang diberikan Indonesia kepada AS untuk mewujudkan kerja sama tersebut sepenuhnya mengacu kepada kepentingan nasional dan dirancang untuk menjaga perimbangan. 

Pada momen tersebut juga, Airlangga menuturkan bahwa Indonesia telah menandatangani NDA dengan USTR yang menandakan Indonesia sudah resmi masuk dalam fase negosiasi awal.

Sejak itu pula, pemerintah belum lagi menyampaikan progres terkini negosiasi.  

Indonesia Kalah Cepat

Melihat kecepatan untuk melakukan negosiasi, nyatanya ada Thailand yang baru mengirimkan proposal negosiasi pada pekan lalu. Indonesia tercatat sebagai satu dari 20 negara yang memulai proses negosiasi lebih awal.

Sementara membandingkan dengan China, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai Indonesia kalah cepat. Hal ini menjadi kekhawatiran nantinya bahwa tarif Indonesia berpotensi lebih tinggi dari China untuk ekspor ke AS. Di sisi lalin, China memiliki banyak daya tawar dibanding Indonesia. 

“Dengan adanya NDA justru membuat proses negosiasi Indonesia menjadi kurang transparan, dan tidak mendapat dukungan publik untuk tekan posisi AS,” ujarnya, Selasa (13/5/2025). 

Khawatirnya, apabila tarif Cina lebih rendah dibandingkan Indonesia ke pasar AS justru akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia. 

Produk asal Indonesia seperti tekstil, alas kaki dan pakaian jadi dapat direbut oleh Cina. Sementara Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi.

Untuk itu, Bhima mendorong pemerintah harus lebih agresif melobi AS dengan gunakan pembaruan IUPK Freeport, dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga yang sedang dinikmati Freeport. 

"Isu Laut China Selatan sebaiknya masuk ke meja negosiasi juga untuk tekan posisi AS agar berikan tarif lebih rendah dari China. Sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China yang sebesar 30%," tutupnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper