Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik alias BPS memutuskan ubah jadwal rilis data neraca perdagangan Indonesia, dari yang awalnya setiap pertengahan bulan menjadi setiap awal bulan. Artinya, data kinerja ekspor-impor bulanan akan keluar lebih lama dari yang awalnya dua pekan setelah bulan berakhir menjadi empat pekan setelah bulan berakhir.
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai keputusan BPS tersebut hanya akan menciptakan ruang ketidakpastian yang luas di kalangan investor, pelaku usaha, dan analis pasar.
"Ketika negara lain berupaya meningkatkan keterbukaan dan kecepatan informasi ekonomi, Indonesia justru mengambil langkah mundur yang bertentangan dengan prinsip perdagangan modern yang berbasis transparansi dan prediktabilitas," ujar Syafruddin, Kamis (15/5/2025).
Menurutnya, perubahan jadwal rilis data neraca perdagangan tersebut tidak bisa dilihat hanya dari sisi teknis, melainkan turut mencerminkan mentalitas birokrasi yang enggan diawasi dan tidak menempatkan kebutuhan pasar sebagai prioritas.
Syafruddin mengingatkan bahwa ekspor dan impor merupakan menjadi fondasi neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, sambungnya, jika ada ketertutupan data maka hanya akan memperkuat persepsi internasional bahwa Indonesia tidak serius membuka diri terhadap integrasi global.
Dia menggarisbawahi jika Indonesia ingin keluar dari stigma sebagai negara paling proteksionistik maka konsistensi, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam penyajian data publik harus menjadi langkah awal yang tidak bisa ditawar.
Baca Juga
"Transparansi bukan kelemahan, tetapi fondasi kepercayaan. Ketika data disembunyikan atau ditunda tanpa alasan teknis yang meyakinkan, maka keraguan pasar akan berubah menjadi keyakinan bahwa ada yang sedang disembunyikan," katanya.
Syafruddin menegaskan ketidakpastian yang dirasakan pelaku pasar akan lebih merugikan perekonomian daripada angka defisit neraca perdagangan itu sendiri.
Oleh sebab itu, dia menyimpulkan langkah BPS memperlambat rilis data ekspor-impor Indonesia akan memperkuat reputasi negatif Indonesia sebagai negara dengan hambatan perdagangan tertinggi di dunia.
Sebelumnya, Tholos Foundation menempatkan Indonesia sebagai negara dengan hambatan perdagangan internasional terbanyak di dunia.
Dalam laporan bertajuk International Trade Barrier Index 2025, Tholos Foundation mengukur hambatan perdagangan—baik secara langsung maupun tak langsung—yang diberlakukan oleh 122 negara. Negara-negara tersebut berkontribusi ke 97% produk domestik bruto (PDB) global dan 80% populasi di dunia.
Hasilnya, Indonesia menempati posisi ke 122 atau terakhir. Sebaliknya, negara dengan hambatan perdagangan paling sedikit atau peringkat pertama adalah Hong Kong.
Sementara itu, Biro Humas dan Hukum BPS pada Kamis (15/5) menyampaikan bahwa terjadi perubahan jadwal rilis perkembangan ekspor dan impor.
“Dalam rangka meningkatkan kualitas data, Badan Pusat Statistik [BPS] akan merilis angka tetap perkembangan Ekspor Impor di setiap awal bulan,” ujar Biro Humas dan Hukum BPS dalam keterangan resminya.
Humas menyampaikan bahwa perubahan ini sebagai bentuk komitmen BPS untuk menghadirkan data yang berkualitas dengan tidak lagi merilis Angka Sementara perkembangan ekspor impor yang biasanya dikeluarkan setiap tengah bulan.
“Dengan demikian, pengguna data langsung memperoleh angka tetap kinerja ekspor dan impor untuk dimanfaatkan lebih lanjut,” tutupnya.