Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) membantah tudingan rencana penerapan bea masuk antidumping (BMAD) untuk benang filamen sintetik akan mematikan industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawastas mengatakan,mbiaya tambahan impor produk benang filamen tertentu berupa partially oriented yarn-drawn textured yarn (POY-DTY) dari China justru merupakan perlindungan agar industri TPT pulih.
“Iya, justru ini akan membuat industri makin sehat karena kita jadi bersaing secara lebih fair,” kata Redma kepada Bisnis, Selasa (20/5/2025).
Bahkan, menurut dia, apabila antidumping diberlakukan, maka industri tekstil saat ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam melakukan substitusi impor sekitar 140.000 ton.
Sebab, terdapat tiga pabrikan benang tersebut yang akan jalan beroperasi penuh sehingga ada tambahan pasokan sekitar 200.000 ton.
“Dan BMAD ini kan tidak berlaku bagi perusahaan di kawasan berikat atau yang pakai fasilitas KITE [kemudahan impor tujuan ekspor], jadi sudah pasti tidak akan ganggu ekspor,” ujarnya.
Baca Juga
Redma menerangkan, BMAD harus segera diterapkan lantaran utilitas produksi industri benang tersebut sudah makin melemah. Ada empat perusahaan anggota APSyFI terimbas atas praktik dumping POY-DTY asal China.
Adapun, satu perusahaan tutup permanen, satu perusahaan tutup sementara, dan dua perusahaan hanya mengoperasikan 40% fasilitas produksinya.
“Jadi hasil temuan KADI [Komite Anti Dumping Indonesia] ini memang menggambarkan kondisi riil dilapangan,” ungkapnya.
Berdasarkan keterangan APSyFI sebelumnya bahwa tiga dari empat perusahaan ini rencananya akan kembali menjalankan secara penuh lini produksinya, ditambah satu perusahaan relokasi asal China akan berinvestasi mendirikan lini produksi polyester.
“Tapi reaktifasi tiga perusahaan dan satu perusahaan baru dengan total investasi sekitar US$250 juta ini masih menunggu kepastian pemberlakuan BMAD,” tambah Redma.
Kemudian, Redma menjelaskan bahwa dengan reaktivasi tiga perusahaan ini akan ada tambahan produksi POY sebesar 200.000 ton sehingga masih sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Untuk mengintegrasikan hulu-hilir Industri nya, banyak negara sudah melakukan antidumping, terakhir Vietnam yang mengenakan BMAD untuk China,” jelasnya.
Sebelumnya, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik sekaligus Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia Fernando Emas menilai rekomendasi dan hasil penyelidikan antidumping KADI atas produk benang filamen tidak sesuai dan dapat mengancam industri.
"Kalau kita melihat usulan KADI terkait dengan besaran BMAD dari 5,12% sampai 42,3% tentu akan memberatkan industri tekstil dan produk tekstil. Bila melihat kebutuhan industri hulu, benang filamen sintetik seperti partially oriented yarn [POY] adalah sesuatu yang vital sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tekstil," jelasnya.
Fernando menjelaskan, apabila melihat data kebutuhan POY industri tekstil dalam negeri setiap tahunnya mencapai 257,68 juta kg, sedangkan ketersediaan POY setiap tahunnya hanya 141,92 juta kg sehingga masih ada kekurangan sekitar 115,76 juta kg untuk memenuhi kebutuhan industri TPT dalam negeri.
"Sehingga kalau dilakukan penerapan BMAD maka akan sangat berdampak terhadap usaha mikro kecil dan menengah [UMKM] yang jumlahnya mencapai 1 juta serta 5.000 lebih perusahaan besar dan sedang," jelasnya.
Karena tidak terpenuhinya pasokan bahan utama produksi tekstil seperti POY dan DTY tentu akan menghambat produksi yang mengakibatkan berhentinya operasional pabrik. Perusahaan yang tidak beroperasi tentu akan merumahkan para karyawan dalam waktu tertentu atau pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain itu, akan mengakibatkan hasil produksi industri dalam negeri tidak akan mampu bersaing dengan hasil produksi luar negeri akibat biaya produksi bertambah dikarenakan tidak terpenuhinya bahan baku utama sehingga akan memberikan dampak terhadap industri dalam negeri serta terhadap pendapatan negara.
"Saat ini ada sekitar 3 juta karyawan yang hidupnya bergantung pada perusahaan TPT sehingga apabila pemerintah memberlakukan BMAD akan berpotensi mengakibatkan terjadinya PHK besar-besaran akibat perusahaannya di tutup," tuturnya.