Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Krisis Bayi di Jepang Sentuh Rekor Lagi, Angka Kelahiran di Bawah 700.000 per Tahun

Jumlah kelahiran bayi di Jepang secara total turun menjadi sekitar 686.000, menandai pertama kalinya angka tersebut turun di bawah 700.000 per tahun.
Salah satu kawasan di Jepang/Freepik
Salah satu kawasan di Jepang/Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Tingkat kelahiran di Jepang Kembali menurun sepanjang tahun lalu atau dalam 9 tahun berturut-turut dan menyentuh rekor terendah. Hal ini pun menjadi alarm bagi Pemerintah Jepang.

Dilansir Bloomberg pada Rabu (4/6/2025), laju kelahiran atau rata-rata jumlah anak dari seorang ibu di Jepang menurun dari 1,2 pada 2023 menjadi 1,15. Berdasarkan data yang dirilis oleh Menteri Kesehatan Jepang, angka ini pun menjadi paling rendah sejak 1947.

Tren penurunan angka kelahiran paling terlihat di Tokyo, di mana hanya berada pada level di bawah 1 untuk dua tahun berturut-turut.

Jumlah kelahiran total turun menjadi sekitar 686.000, menandai pertama kalinya angka tersebut turun di bawah 700.000 per tahun.

Jumlah kematian mencapai sekitar 1,61 juta, yang menyebabkan penurunan populasi bersih Jepang sekitar 919.000 dan memperpanjang periode penurunan populasi tahunan negara tersebut hingga 18 tahun. Data tersebut tidak termasuk migrasi.

Data tersebut menggarisbawahi urgensi upaya pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran. Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba telah meluncurkan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk meringankan beban keuangan keluarga, termasuk perluasan subsidi terkait anak dan pendidikan sekolah menengah tanpa biaya.

Pemerintah Jepang juga telah menjamin kompensasi upah penuh bagi beberapa pasangan yang sama-sama mengambil cuti orang tua dan memperbaiki kondisi kerja bagi staf pengasuhan anak dan perawat.

Langkah-langkah ini dibangun berdasarkan inisiatif pendahulu Ishiba, Fumio Kishida, yang berjanji untuk meningkatkan kebijakan pemerintah per anak ke tingkat yang sebanding dengan Swedia, di mana 3,4% dari PDB dikhususkan untuk tunjangan keluarga.

Saat itu, Kishida memperingatkan bahwa Jepang dapat kehilangan kapasitasnya untuk berfungsi sebagai masyarakat, kecuali tindakan berani diambil.

"Krisis angka kelahiran yang menurun dengan cepat masih belum terselesaikan," kata juru bicara Kementerian Kesehatan Jepang. Kementerian juga menyampaikan populasi perempuan muda yang menyusut dan tren pernikahan dan kelahiran di kemudian hari sebagai salah satu faktor utama yang berkontribusi.

Penurunan angka kelahiran yang terus berlanjut memunculkan kembali kekhawatiran atas masa depan sistem jaminan sosial Jepang. Program pensiun publik negara ini mengalami tekanan yang semakin meningkat, dengan jumlah kontributor yang lebih sedikit dan jumlah penerima yang semakin banyak.

Selama dua dekade terakhir, jumlah orang yang membayar ke dalam sistem tersebut telah turun sekitar 3 juta, sementara penerima manfaat telah meningkat hampir 40%, menurut laporan kementerian yang terpisah.

Biaya jaminan sosial Jepang yang melonjak memberikan tekanan yang lebih besar pada keuangan publik, di mana rasio utang terhadap PDB berada pada posisi tertinggi di antara negara-negara maju. Untuk tahun fiskal 2025, belanja kesejahteraan sosial mencapai total 38,3 triliun yen atau setara US$266,3 miliar, yang merupakan sepertiga dari anggaran nasional.

Pasar tenaga kerja juga diperkirakan akan tetap berada di bawah tekanan. Jika tren saat ini berlanjut, Jepang dapat menghadapi kekurangan 6,3 juta pekerja pada 2030, menurut perkiraan oleh Persol Research and Consulting.

Adapun, tantangan demografi meningkat di seluruh dunia. Di Korea Selatan, tingkat kesuburan sedikit meningkat tahun lalu untuk pertama kalinya dalam sembilan tahun, meskipun hanya menjadi 0,75.

Angka kelahiran di AS menurun pada 2023 ke level terendah dalam lebih dari 40 tahun, sebuah tren yang kemungkinan membuat pemerintahan Donald Trump mempertimbangkan serangkaian kebijakan perawatan anak.

Sementara itu, terdapat secercah harapan dari jumlah pasangan pengantin baru di Jepang meningkat lebih dari 10.000 pada 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Karena angka pernikahan dan kelahiran saling terkait erat di negara tersebut, peningkatan tersebut dapat membantu mendukung fertilitas di masa mendatang.

Pemerintah daerah, termasuk di Tokyo, baru-baru ini meluncurkan inisiatif untuk mendorong pernikahan, seperti mengembangkan aplikasi kencan dan menyelenggarakan acara perjodohan untuk menciptakan lebih banyak kesempatan bagi orang-orang untuk bertemu calon pasangan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper