Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai proyeksi pertumbuhan ekonomi dari Bank Indonesia dan Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD lebih realistis ketimbang pemerintah.
OECD baru saja memangkas estimasinya terhadap ekonomi Indonesia dari 4,9% menjadi 4,7%. Sementara pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) bulan lalu, bank sentral memangkas proyeksi ekonomi dengan batas bawah dari 4,7% menjadi 4,6%.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat proyeksi OECD tersebut memang lebih realistis karena melihat semester kedua tahun ini terdapat tantangan ekonomi yang masih cukup besar.
“Momen musiman Lebaran sudah lewat, jadi pendorong konsumsi rumah tangganya relatif kecil setelah Lebaran,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (4/6/20225).
Sekalipun pemerintah berusaha menggelontorkan sedere insentif dan bantuan pada Juni ini, Bhima menilai efektivitas stimulus ke pertumbuhan ekonomi kecil.
Alhasil, dorongan tersebut belum dapat membuat ekonomi tumbuh sebagaimana yang pemerintah harapkan di atas 5% pada kuartal II dan III tahun ini.
Baca Juga
Bhima memandang, Bantuan Subsidi Upah (BSU) tidak menyentuh pekerja informal yang sebagian besar upahnya dibawah upah minimum
Di mana BSU diberikan selama dua bulan untuk Juni dan Juli, namun disalurkan seluruhnya pada Juni 2025 dengan total anggaran senilai Rp10,72 triliun
Bantuan senilai Rp300.000 per bulan/orang kepada 17,3jt pekerja/buruh (gaji ≤3,5jt atau UMP/Kab/Kota) dan 288.000 Guru Kemendikdasmen dan 277.000 Guru Kementerian Agama.
Bhima turut melihat insentif tarif transportasi maupun tol pada momen libur sekolah hanya bersifat temporer dan bias kelas menengah keatas.
“Contohnya insentif tarif jalan tol dan tiket maskapai, yang menikmati yang punya uang buat jalan-jalan. Jadi bukan universal coverage stimulusnya,” lanjutnya.
Alasan OECD Pangkas Ekonomi RI
Dalam laporan terbarunya, OECD Economic Outlook June 2025, lembaga internasional tersebut melihat sejumlah hal membebani ekonomi RI sehingga melakukan revisi ke bawah sebsear 0,2% dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,9%.
OECD menuliskan bahwa melemahnya sentimen bisnis dan konsumen baru-baru ini di tengah ketidakpastian kebijakan fiskal dan biaya pinjaman yang tinggi akan membebani konsumsi dan investasi swasta pada paruh pertama 2025.
Terlebih, OECD turut menilai ekonomi Indonesia berisiko tumbuh lebih rendah dari harapan pemerintah karena arus keluar modal yang terus-menerus didorong oleh ketidakpastian kebijakan global dan domestik dapat memberikan tekanan baru pada mata uang rupiah.
Dengan demikian berpotensi menyebabkan pelebaran defisit transaksi berjalan untuk sementara waktu dan memicu inflasi melalui biaya impor yang lebih tinggi.
Belum lagi meningkatnya ketegangan perdagangan global baru-baru ini dan penurunan harga komoditas diperkirakan akan membebani permintaan eksternal dan pendapatan ekspor.
Pasalnya telah terbukti dari data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk periode April 2025 yang menunjukkan bahwa kinerja ekspor kontraksi 10,77% secara bulanan (month to month/MtM).