Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dinilai sulit mencapai swasembada gandum dan kedelai, terlebih Indonesia merupakan negara subtropis.
Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Kementerian Pertanian (Kementan) yang menyebut swasembada pangan untuk komoditas kedelai dan gandum semakin terbuka lebar untuk Indonesia melalui peningkatan produksi dalam negeri.
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian memandang dengan kondisi ekosistem riset Indonesia yang masih belum memadai dan terintegrasi, agak sulit Indonesia bisa mencapai swasembada kedelai dan gandum. Terlebih, Indonesia merupakan negara subtropis.
“Hal ini karena untuk gandum memang secara agroklimat saja sudah berbeda, gandum umumnya di subtropis, sementara kita negara tropis. Jadi memang butuh riset terus-menerus dan proses yang panjang untuk bisa menghasilkan secara optimal. Kedelai juga sama,” kata Eliza kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).
Menurut Eliza, pemerintah lebih baik memprioritaskan anggaran terhadap komoditas yang memungkinkan bisa ditingkatkan, seperti padi, jagung, hortikultura, perkebunan orientasi ekspor, serta pangan lokal. Hal ini mengingat ada keterbatasan anggaran dan investor, serta pengusaha belum banyak yang terjun ke sektor pertanian.
Kendati demikian, Eliza menyebut ada peluang bagi Indonesia untuk mencapai swasembada kedelai dengan beberapa catatan. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan perombakan kebijakan agar swasembada kedelai bisa tercapai.
Baca Juga
“Kalau kedelai ceritanya kenapa kita tidak lagi swasembada karena efek kebijakan pemerintah. Sebenarnya, swasembada kedelai secara teknis ya memungkinkan bisa, tetapi butuh perombakan kebijakan besar,” ungkapnya.
Dia mengungkap bahwa Indonesia nyaris mencapai swasembada pada akhir 1990-an sebelum pasar bebas dibuka dan kedelai impor membanjiri karena lebih murah. Akibatnya, konsumen terlanjur menyukai kedelai impor yang memang secara kualitas lebih baik dan lebih murah.
Untuk itu, Eliza menilai Indonesia harus bisa mengurangi ketergantungan biji kedelai secara bertahap melalui perombakan kebijakan yang besar.
“Kita harus bisa secara bertahap mengurangi ketergantungan pada impor biji yang lebih murah karena hampir 95% masih dipenuhi dari impor,” terangnya.
Lebih lanjut, Eliza mengungkap untuk bisa secara bertahap menuju swasembada, maka pemerintah perlu melakukan lima kebijakan.
Pertama, menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk kedelai. Dengan pemerintah menetapkan HPP, maka akan menjadi insentif daya tarik bagi petani untuk menanam.
“Karena selama ini petani menanam kedelai itu hanya menjadi tanaman selang padi, bukan tanaman utama karena kurang menjajikan dari segi ekonomi,” ujarnya.
Kedua, pemerintah perlu memberikan subsidi dan mekanisasi untuk produksi efisien. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan subsidi benih unggul, pupuk, pestisida, dan bantuan alat tanam/panen yang cocok untuk karaketristik lahan Indonesia yang mayoritas sempit. Dia menyarankan untuk jangan menggunakan mesin besar lantaran hanya cocok untuk di lahan luas.
Ketiga, perlunya pengembangan varietas unggul non-GMO dan adapatif Iklim. Maksudnya, pemerintah perlu meningkatkan riset varietas lokal yang produktif di lahan kering/tadah hujan, tahan hama penyakit, dan cocok dengan pola tanam tumpangsari seperti jagung-kedelai, padi-kedelai.
Keempat, mode kemitraan klaster industri kedelai. pemerintah harus membangun kawasan produksi kedelai berbasis klaster dengan begitu para petani diberikan kejelasan pasar dan harga.
Kelima, pengendalian impor secara bertahap. Importir harus menjalin kemitraan dengan petani kedelai untuk bisa memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dan pakan.
Jika menengok data Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai dengan kode HS 12019000 atau soya beans, whether or not broken, other than seed pada April 2025 mencapai 205.593 ton dengan nilai mencapai US$96,61 juta. Adapun, negara asal impor kode HS ini adalah Amerika Serikat, Kanada, Malaysia, dan Bolivia.
Data menunjukkan volume impor kedelai naik dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Pada April 2024, volume importasinya hanya mencapai 202.612 ton dengan nilai US$107,05 juta.
Sementara itu, gandum dengan kode HS 10019912 atau kategori wheat grain without extreme outer layer, outer layer, other than seed, fit for human consumption mencatatkan nilai impor mencapai US$222,96 juta dan volume 735.885 ton pada April 2024.
Pada April 2025, nilainya mencapai US$253,38 juta dengan volume 892.753 ton. Indonesia paling banyak menerima impor gandum dari Australia, Kanada, Brasil, dan Argentina.
Genjot Riset Buat Swasembada
Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan bahwa saat ini Kementan telah mengumpulkan beberapa ahli dari perguruan tinggi bersama dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) terkait persiapan bibit untuk memproduksi kedelai dan gandum dalam negeri.
Amran meminta agar produksi kedelai dalam negeri bisa mengalami kenaikan, setidaknya dari 3 ton menjadi 10.000 ton.
“Kalau berhasil, insya Allah, swasembada ke depan semakin terbuka lebar untuk kedelai. Gandum juga demikian, tidak pernah. Kita sudah uji coba beberapa kali, produksi tertinggi adalah 5 ton,” kata Amran saat ditemui di kediamannya di bilangan Jakarta Selatan, Rabu (4/6/2025).
Amran juga meminta delegasi untuk berangkat ke Jordan mencari benih kedelai dan gandum terbaik di dunia, seiring dengan Presiden Prabowo Subianto yang mendukung swasembada pangan.
Sayangnya, Amran enggan berkomentar lebih jauh saat ditanya kapan target swasembada kedelai dan gandum itu tercapai di Indonesia. “Biarkan dulu aku napas. Enggak kasihan sama saya?” imbuhnya.