Bisnis.com, JAKARTA- Badai pemutusan hubungan kerja alias PHK yang belakangan cukup deras, justru kerapkali diabaikan sebagai potensi masalah kemudian hari. Pemerintah melalui beberapa pejabatnya, menyebut laju PHK masih jauh lebih kecil dibandingkan lapangan kerja yang dibuka, seketika problem dianggap tuntas.
Hasan Nasbi, selaku Jurubicara Presiden telah menyampaikan masyarakat tak usah khawatir terkait lapangan kerja. Sebab, katanya, jumlah pengangguran akibat PHK tak melebihi angka lapangan kerja yang tercipta.
Pernyataan Hasan itu merespon keriuhan yang beberapa waktu belakangan marak di media sosial, terkait antrean panjang para pelamar kerja pada kegiatan bursa kerja. Bahkan dalam satu kejadian, calon pelamar kerja membludak.
Sebaliknya, angka-angka statistik menunjukkan keresahan yang menjurus kepada lesunya aktivitas ekonomi. Berpikir dan menafsir angka statistik ini setidaknya bisa menempatkan problem ekonomi nasional belakangan ini secara obyektif.
Ya, seperti senantiasa dilakukan juga para pendiri bangsa, lebih-lebih seorang Tan Malaka. Statistik bagi Tan Malaka selalu disisipkan sebagai penerang keadaan sebenarnya.
Buku “Aksi Massa”, misalnya, menguraikan berbagai indikator statistik guna menunjang argumentasi pamungkas.
Tan memperhitungkan penguasaan lahan, kepemilkan modal, hingga komoditas maupun laju ekspor-impor yang dilakukan Kolonial Belanda dengan sekondan penjajah lainnya. Hasilnya, Kolonial Belanda sudi menghancurkan potensi modal nasional agar bisa mempertahankan monopoli perkebunan, tidak membangun industri.
Maka itu, wajah kebijakan politik pun jadi berbeda. Inggris dan Amerika membangun demokrasi liberal berbasis parlementer lokal di negeri jajahan sebagai kompromi dengan pengusaha lokal, tidak demikian dengan Belanda terhadap Indonesia.
Statistik juga dipergunakan Soekarno dalam “Indonesia Menggugat”. Sang Proklamator itu menunjukkan bahwa Belanda baru bisa mengapung dengan setoran berbagai komoditas dan pajak dari pengisapan negeri jajahan.
Sebaliknya saat ini, meski data ekonomi makro berbicara ke arah berbeda, potensi pengangguran meluas dan PHK massal, seolah ditampik. Pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal awal tahun ini saja belum mampu menggapai kisaran 5% sebagaimana dipatok.
Secara rinci, komponen penyokong pertumbuhan dominan yakni konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah, susut. Sedangkan surplus perdagangan kian menipis.
Hal demikian secara langsung menunjukkan adanya kelesuan aktivitas ekonomi yang berujung ambrolnya daya beli. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan gejala deflasi yang untuk sekian kali terjadi berurutan.
Indikasi lainnya, para industriawan pun semakin kecut. Lihat saja angka-angka PMI yang mencerminkan persepsi dan ekspektasi pelaku industri. PMI memasuki zona kontraksi.
Hal ini juga menambah soal seiring kemampuan sektor manufaktur, di mana gantungan lapangan kerja diemban. Kontribusi manufaktur terus terkikis, dalam dua dekade turun dari level 30% menjadi 17% terhadap PDB.
Satu-satunya komponen penyangga PDB yang masih positif, yakni aliran investasi. Hanya saja, secara sektoral aliran investasi itu lebih banyak menyasar industri pengolahan ekstraktif. Cerobong-cerobong asap smelter di daerah Maluku, Sulawesi, hingga Papua tetap mengepul, tetapi belum bisa membangun ekosistem industri yang luas, serta penciptaan lapangan kerja secara masif.
STATISTIK TENAGA KERJA
Salah satu peristiwa dramatis adalah bergugurannya perusahaan padat karya, memaksa para korban PHK menjadi mitra ojek, kreator konten, atau berjualan kecil-kecilan.
Nasib ini dijalani oleh pria bernama Hasan. Pemuda berusia 30 tahun itu telah berumah tangga, dengan satu buah hati. Sejak setahun belakangan, dirinya menerima nasib sebagai pengangguran, setelah diputus kontrak oleh vendor pengisian uang ATM.
“Bekerja di sana padahal sudah sekitar 8 tahun, tapi malah diputus kontrak,” ujarnya.
Kini untuk menyambung hidup keluarga, Hasan jadi sopir mitra sebuah aplikator pengiriman barang. “Mobilnya bak milik orang tua,” ungkapnya.
Hasan mewakili nasib ratusan ribu korban PHK. Agar dapur tetap ngebul, pekerjaan informal yang tersedia.
Hal inipun dikonfirmasi data BPS. Laju pertumbuhan pekerja informal dalam beberapa tahun belakangan terkerek.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan proporsi pekerja informal di Indonesia pada Februari 2025 menjadi sekitar 86,58 juta orang atau 59,4% dari total penduduk bekerja. Kategori informal mencakup berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/pekerja keluarga/tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tidak dibayar.
Di lain sisi, BPS mencatat jumlah yang bekerja pada kegiatan formal sebanyak 59,19 juta orang (40,60%). Persentase penduduk bekerja pada kegiatan formal menurun 0,23% poin dibandingkan Februari 2024.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani memandang bahwa tren PHK dan pergeseran tenaga kerja ke sektor informal saat ini adalah sinyal penting dari tekanan struktural perekonomian nasional yang perlu menjadi perhatian bersama.
Survei internal Apindo menunjukkan bahwa penyebab utama PHK berasal dari berbagai faktor seperti penurunan permintaan, kenaikan biaya produksi, perubahan regulasi ketenagakerjaan, serta masuknya barang impor murah.
“Tren pergeseran ke sektor informal juga perlu dicermati lebih serius. Ini adalah dampak langsung dari terbatasnya kapasitas sektor formal dalam menciptakan lapangan kerja berkualitas,” ujar Shinta kepada Bisnis, dikutip Minggu (8/6/2025).
KEHILANGAN BONUS DEMOGRAFI
Direktur Lembaga Demografi FEB UI I Dewa Gede Karma Wisana mengatakan kondisi ketenagakerjaan saat ini mengalami ketidakpastian, baik dalam hal pekerjaan, pendapatan, dan jaminan sosial alias prekariat.
“Sektor yang padat karya seperti perdagangan, transportasi, akomodasi, properti, tapi masih dominannya informal. Upah rendah bahkan prekariat,” kata Dewa.
Terlebih, Dewa menyebut Indonesia akan menjadi negara ageing pada 2030-an, di mana sekitar 14% penduduk Indonesia berusia di atas 60 tahun. Dampaknya, kondisi akan ini menimbulkan tantangan mulai dari beban sistem sosial, peningkatan ketergantungan, hingga lansia rentan miskin.
Pasalnya, dia menyebut angka komposisi penduduk Indonesia mayoritas adalah usia produktif. Namun, penduduk yang produktif ini akan menua dalam 15–20 tahun ke depan.
“Karena fakta yang menarik untuk Indonesia adalah secara komposisi penduduk, kita punya penduduk produktif yang masih sangat besar,” ujarnya.
Seiring dengan bonus demografi di Indonesia, Dewa menyebut pemerintah perlu menyiasatinya dengan menyediakan lapangan pekerjaan untuk usia produktif agar memiliki pendapatan, sehingga peluang untuk masuk ke kategori miskin menjadi berkurang.
Terakhir, selayaknya indikator statistik dan problem nyata soal ekonomi belakangan tidak lagi diabaikan. Lebih baik tiru apa yang dilakukan Tan Malaka dan Soekarno, menggunakan angka statistik untuk memecahkan persoalan, bukan sebaliknya!