Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menduga ada permainan tengkulak di balik melambungnya harga beras di tengah stok beras yang melimpah di gudang Perum Bulog.
Untuk diketahui, Perum Bulog mencatat realisasi pengadaan gabah kering panen (GKP) mencapai 3,4 juta ton dan realisasi beras sebesar 723.000 ton, sehingga total pengadaan beras dalam negeri 2025 adalah 2,56 juta ton. Dengan begitu, saat ini stok beras Bulog telah mencapai 4,1 juta ton.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan jumlah kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras terus bertambah pada minggu kedua Juni 2025 menjadi 133 kabupaten/kota. Jika dibandingkan pada pekan pertama Juni 2025, terdapat 119 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras.
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian memandang bahwa semestinya harga beras tidak naik di tengah melimpahnya stok beras di gudang Bulog. Dia menduga ada permainan middleman alias tengkulak di balik mahalnya beras.
“Seharusnya jika stok melimpah harga beras tidak naik, bahkan cenderung turun kalau memang murni teori supply demand. Berarti memang ada sesuatu hal yang itu di middleman-nya,” kata Eliza kepada Bisnis, Selasa (17/6/2025).
Apalagi, Eliza menyebut bahwa ada beberapa middleman yang menguasai rantai pasokan dan distribusi di hampir semua komoditas pangan.
Baca Juga
“Hampir semua komoditas pangan di Indonesia sering kali bersifat oligopolistik, di mana segelintir pelaku usaha middlemen yang menguasai rantai pasokan dan distribusi. Nah, jadinya harga jadi gampang dimanipulasi,” ujarnya.
Untuk itu, dia menyarankan agar membentuk pangkalan data (database) alias transparansi data di setiap rantai, mulai dari volume, lokasi, hingga siapa yang mengendalikan komoditas pangan. Pasalnya, sambung dia, struktur pasar Indonesia saat ini masih kurang ideal, termasuk beras.
Lebih lanjut, Eliza menyebut alasan di balik harga beras yang naik dan tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) lantaran dari sisi harga gabah yang memang mengalami kenaikan. Alhasil, untuk menjaga margin, pengusaha harus menyesuaikan harga beras.
Dia menjelaskan bahwa pedagang ingin menjaga margin keuntungan lantaran harga pokok penjualan (HPP) yang gabah naik menjadi Rp6.500 per kilogram.
“Hanya saja kenaikan harga gabah versus harga beras itu lebih cepat kenaikannya harga beras di level konsumen karena middleman yang akan menentukan harga mereka yang menguasai stok dan informasi [beras],” terangnya.
Menurutnya, pemerintah harus memprioritaskan ke kalangan menengah, terutama menengah bawah. Sebab, mereka yang paling terdampak jika harga beras naik mengingat kontribusi beras terhadap basket inflasi cukup besar 3%.
Di sisi lain, Eliza menilai bahwa sebetulnya pemerintah bisa mengintervensi pasar melalui operasi pasar. Menurutnya, dengan stok beras yang dimiliki pemerintah cukup bisa mempengaruhi harga beras, dengan begitu masyarakat memiliki pilihan dalam membeli beras dengan harga yang relatif murah.
“Karena Bulog sudah memaksimalkan penyerapan, sudah saatnya memaksimalkan penyaluran agar beras tidak menumpuk di gudang, karena jika dibiarkan terlalu lama menumpuk akibat tidak optimal penyalurannya maka kualitas beras akan menurun dan ini merugikan APBN,” tuturnya.
Dia menilai, dengan adanya operasi pasar yang dilakukan pemerintah, maka setidaknya bisa membantu masyarakat mendapatkan harga beras yang relatif terjangkau.
Di sisi lain, dia menuturkan jika penyaluran beras yang dilakukan belum optimal maka bisa memunculkan kekhawatiran beras yang disimpan di gudang Bulog dan akan menurunkan kualitas mutu beras,
“Ketika turun kualitasnya ini jadi tidak layak konsumsi bagi manusia, namun msh bisa digunakan untuk pakan ternak,” tandasnya.