Bisnis.com, JAKARTA — Harga ayam hidup (livebird) yang terus mengalami penurunan drastis dalam 4 bulan terakhir atau pascalebaran Idulfitri 2025, membuat hidup para peternak makin tertekan.
Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi mengatakan harga ayam hidup di tahun ini jatuh di level ekstrem, meski sebenarnya fluktuatif harga ayam bukanlah sesuatu yang baru.
“Tahun lalu harga ayam hidup fluktuatif sama [naik-turun], tapi tidak seekstrem ini. Sebenarnya naik turunnya ayam ini sesuatu yang tidak asing. Cuma ini kan turunnya ekstrem [pasca Idulfitri 2025],” kata Sugeng saat dihubungi Bisnis, Kamis (19/6/2025).
Terlebih, Sugeng mengungkap harga ayam hidup yang turun drastis ini sudah terjadi dalam empat bulan terakhir di tahun ini.
“Ini [penurunan harga ayam hidup turun] seperti berlarut-larut. Ini kan dari habis lebaran sudah berapa bulan? Maret, April, Mei, Juni, kan 4 bulanan ini yang tahun ini saja ya,” ujarnya.
Berdasarkan perhitungan kasar, Sugeng menuturkan harga ayam hidup di tingkat peternak dijual fluktuatif pasca lebaran, yakni di kisaran Rp11.000–Rp15.000 per kilogram.
Baca Juga
Adapun jika rata-rata harga ayam hidup dijual di level Rp15.000 per kilogram, lanjut Sugeng, kerugian peternak diperkirakan bisa mencapai di kisaran Rp5.400 per ekor.
Namun, dia menjelaskan kerugian yang dirasakan setiap peternak bervariasi, tergantung populasi ayam hidup yang dipelihara.
“Jika peternak pelihara 10.000 ekor [ayam hidup], maka kerugiannya Rp5.400 dikali 10.000 ekor [ayam hidup],” terangnya..
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) menetapkan harga pokok produksi ayam hidup (HPP livebird) menjadi Rp18.000 per kilogram dari sebelumnya di level Rp17.500 per kilogram. Kebijakan ini mulai berlaku per 19 Juni 2025.
Kebijakan HPP Rp18.000 per kilogram ini diambil lantaran peternak yang menjerit imbas harga ayam hidup yang rata-ratanya dibanderol di level Rp14.500 per kilogram. Harganya kian jatuh di bawah HPP.
Keputusan ini disambut baik oleh para pelaku peternak unggas dan diharapkan bisa terimplementasi dengan baik.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Indonesia (GPPU) Ahmad Dawami menyebut penetapan HPP menjadi Rp18.000 per kilogram bisa menggairahkan para peternak, termasuk menstabilkan harga anak ayam. Namun, menurutnya, angka ideal untuk HPP ayam hidup berada di level Rp19.000–Rp20.000 per kilogram.
Meski begitu, GPPU berharap keputusan HPP menjadi Rp18.000 per kilogram ini membuat para peternak tak lagi mengalami kerugian dan diperkirakan kenaikan HPP ini baru diterima sekitar 2–3 hari ke depan oleh masyarakat.
“Hanya saja memang setiap perubahan itu pasti ada prosesnya. Tidak bisa seketika kayak membalik tangan. Nah pasti ada perlawanan dari beberapa pembeli, karena naiknya kan begitu drastis,” kata Dawami saat dihubungi Bisnis, Kamis (19/6/2025).
Di sisi lain, Dawami menuturkan bahwa selama ini peternak mengalami kerugian imbas harga jual yang anjlok di tingkat peternak.
“Kalau sudah terlalu lama rugi seperti ini ya pasti menderita lah peternak. Semuanya menderita, bukan hanya peternak saja, sampai ke industri juga menderita kan,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Agung Suganda berharap penetapan HPP bisa menjaga stabilisasi harga dan keberlangsungan usaha ayam ras broiler, terutama di Pulau Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.
“Harga Rp18.000 [per kilogram] ini adalah harga HPP atau harga minimal. Jadi kalau dijual di atas itu lebih bagus,” kata Agung saat ditemui di Kantor Kementan, Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Dia menjelaskan, penetapan HPP ayam hidup menjadi Rp18.000 per kilogram ini berasal dari perhitungan rata-rata antara HPP PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPI) dengan HPP peternak mandiri.
Adapun ke depan, HPP di level Rp18.000 per kilogram ini akan secara bertahap mendekati harga acuan pembelian (HAP) di tingkat peternak seharga Rp25.000 per kilogram. Hal ini sejalan dengan Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 6 Tahun 2024.
“Ada Peraturan Kepala Badan Nomor 6 Tahun 2024, di mana harga acuan penjualan ayam hidup di tingkat produsen itu Rp25.000 per kilogram. Ini Rp18.000 [per kilogram], itu masih jauh dari Rp25.000 [per kilogram], masih [ada gap] Rp7.000 lagi,” terangnya.
Di samping itu, Kementan juga akan memangkas jalur distribusi ayam hidup broiler lantaran keuntungan yang dikantongi middleman alias tengkulak bisa mencapai 67%.
Saat ini, Kementan bersama dengan kementerian/lembaga terkait tengah menyusun langkah untuk mengurangi rantai pasok ayam hidup.
Agung mengakui jalur distribusi ayam broiler terlalu panjang ke tangan konsumen. Bahkan, ada campur tangan middleman di dalam pendistribusian ayam hidup ini.
“Saat ini rantai tata niaganya terlalu panjang dari mulai peternakan, begitu dijual di peternakan, sampai ke rumah potong itu melalui banyak middlemen. Ada di sana broker, kemudian pengepul, distributor 1, [distributor] 2. Nah di sinilah porsi margin itu tentu akan bertambah terus,” ujarnya.
Berdasarkan kalkulasi Kementan, pihaknya memperkirakan middleman mampu meraup keuntungan hingga 67% dari peternakan hingga ke tangan konsumen.
“Kami sudah coba menghitung dari mulai broker sampai dengan karkas yang dijual ke konsumen, karena dari rumah potong itu sampai ke konsumen itu ada pengepul juga, ada lapak lagi. Itu margin-nya bisa 67%. Jadi itulah yang mau kita kurangi,” tuturnya.
Agung menuturkan Kementan akan memangkas margin yang dikantongi middleman agar para peternak meraup untung. Dengan begitu, harga daging ayam di tingkat konsumen tidak melambung tinggi.
Kementan mendorong agar para peternak rakyat alias peternak mandiri membentuk koperasi atau bergabung ke dalam Koperasi Desa/Kelurahan (KopDes/Kel) Merah Putih untuk memasok daging ayam, sehingga akses distribusi menjadi lebih efisien.
“Jadi porsi yang 67% margin tadi itu bisa dikurangi hanya maksimum di 10%. Sehingga sisa margin tadi itu bisa diberikan kepada peternak kita, tetapi di sisi lain konsumen kita tetap mendapatkan harga karkas yang masih relatif wajar dan terjangkau. Itu yang kami harapkan,” terangnya.
Nantinya, keberadaan koperasi juga bisa sebagai perantara untuk memasok kebutuhan dapur Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) dalam program makan bergizi gratis (MBG).