Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) tengah menanti hasil kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) terkait tarif resiprokal menjelang ambang batas negosiasi yang jatuh pada 9 Juli 2025.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono menyampaikan, pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah melakukan negosiasi dengan pemerintah AS. Kendati begitu, hingga saat ini belum ada informasi lebih lanjut apakah sudah ada kesepakatan penurunan tarif impor atau belum.
“Kita belum mendapatkan informasi apakah tarif resiprokal sudah diturunkan atau belum,” kata Eddy kepada Bisnis, dikutip Minggu (6/7/2025).
Negara di Asia Tenggara seperti Vietnam telah berhasil mendapatkan kesepakatan penurunan tarif ekspor dari Presiden AS Donald Trump dari 46% menjadi 20%.
Eddy mengatakan, Gapki sebelumnya telah mengusulkan ke pemerintah agar AS mendapat perlakuan khusus dalam pajak ekspor, domestic market obligation (DMO), dan pungutan ekspor agar lebih murah.
Dengan begitu, kata dia, Indonesia tetap dapat mempertahankan pangsa pasar minyak sawit di AS yang saat ini mencapai 89%. Kondisi ini menunjukkan tingginya ketergantungan pasar AS terhadap produk sawit Indonesia, utamanya untuk industri makanan.
Baca Juga
Adapun, ekspor minyak sawit Indonesia ke AS mencapai 2,5 juta ton pada 2023 dan turun sedikit menjadi 2,2 juta ton di 2024. Menurutnya, ekspor minyak sawit ke AS dapat mencapai 3 juta ton dalam 2 tahun ke depan, jika tidak ada masalah di masa mendatang.
“Kalau tidak ada masalah kedepan saya meyakini dalam 2 tahun kedepan bisa mencapai 3 juta ton,” ujarnya.
Pada 2 April 2025, Trump mengenakan tarif resiprokal kepada Indonesia sebesar 32%. Alasannya, karena Indonesia dinilai menghambat laju perdagangan Negeri Paman Sam, yakni penerapan tarif sepihak (tidak timbal balik), kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), sistem perizinan impor kompleks, dan devisa hasil ekspor (DHE).
Sepekan kemudian, AS menangguhkan pengenaan tarif resiprokal selama 90 hari untuk 56 negara mitra, termasuk Indonesia untuk memberikan waktu negosiasi. Lalu pada 4 Juni 2025, Trump menggandakan tarif sektoral (baja, aluminium, dan produk turunannya) menjadi 50% untuk semua negara kecuali Inggris.