Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terjepit Tarif 25% dari AS, Jepang: Kami Tak Akan Kompromi Sembarangan

PM Jepang Shigeru Ishiba menyayangkan tarif impor 25% dari AS, namun menegaskan komitmennya menjaga kepentingan nasional dalam negosiasi dagang lanjutan.
Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba./Bloomberg-Kim Kyung-Hoon
Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba./Bloomberg-Kim Kyung-Hoon

Bisnis.com, JAKARTA — Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba angkat bicara terkait pengumuman tarif impor terbaru sebesar 25% dari Amerika Serikat (AS) kepada negaranya.

Ishiba mengatakan pengumuman tarif baru tersebut sebagai langkah yang sangat disesalkan. Meski demikian, dia berjanji akan terus menjaga kepentingan nasional dalam proses negosiasi dagang lanjutan.

Ishiba menegaskan bahwa proses negosiasi bilateral tetap menunjukkan kemajuan, meskipun terdapat peningkatan tarif.

“Kami akan terus melanjutkan pembicaraan dengan AS, melindungi kepentingan nasional kami, sembari secara aktif mencari kemungkinan tercapainya kesepakatan yang saling menguntungkan bagi Jepang dan Amerika Serikat,” ujarnya dalam rapat kabinet dikutip dari Bloomberg, Selasa (8/7/2025).

Adapun tarif menyeluruh sebesar 10% masih berlaku hingga 1 Agustus dan belum termasuk tarif sektoral — yakni 25% untuk mobil dan suku cadangnya, serta 50% untuk baja dan aluminium. Tarif sektor otomotif tersebut kini sudah mulai membebani ekspor Jepang dan meningkatkan risiko terjadinya resesi teknikal.

Strategi Ishiba yang ingin menyelesaikan seluruh sengketa tarif, baik menyeluruh maupun sektoral, dalam satu paket perundingan sejauh ini belum membuahkan hasil.

Kepala negosiator dagang Jepang, Ryosei Akazawa, telah  melakukan perjalanan ke AS sebanyak tujuh kali untuk bertemu dengan mitranya di Washington, termasuk Menteri Keuangan Scott Bessent dan Menteri Perdagangan Howard Lutnick.

Namun, setelah berbulan-bulan perundingan, belum ada terobosan berarti. Dalam sepekan terakhir, Akazawa melakukan dua kali panggilan telepon dengan Lutnick untuk bertukar pandangan secara mendalam.

Jepang awalnya dipandang sebagai mitra potensial untuk mencapai kesepakatan cepat, tetapi negosiasi menemui jalan buntu akibat tarif otomotif. Sektor tersebut menjadi penyumbang terbesar defisit dagang AS terhadap Jepang, sekaligus tulang punggung pertumbuhan ekonomi Jepang.

“Saat ini, Jepang dan AS belum memiliki kesepahaman dalam sejumlah poin penting, dan sayangnya belum ada kesepakatan tercapai. Ini karena pemerintah Jepang berupaya keras dalam negosiasi yang ketat, menghindari kompromi yang sembrono, memperjuangkan apa yang perlu diperjuangkan, dan melindungi apa yang harus dilindungi," kata Ishiba.

Dalam surat yang dikirimkan pada Senin, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa tarif menyeluruh atas produk Jepang akan dinaikkan menjadi 25% mulai 1 Agustus, sedikit lebih tinggi dibandingkan tarif awal sebesar 24% yang diumumkan pada awal April.

“Hubungan kita, sayangnya, selama ini jauh dari kata resiprokal. Mohon dipahami bahwa tarif sebesar 25% ini jauh di bawah angka yang dibutuhkan untuk menghilangkan ketimpangan defisit dagang antara kita," tulis Trump dalam surat tersebut.

Adapun, peningkatan tarif ini menambah tekanan terhadap Ishiba. Namun demikian, tarif tersebut masih lebih rendah dibandingkan ancaman sebelumnya dari Trump yang menyebutkan potensi tarif hingga 35%.

Selain itu, perpanjangan tenggat dari 9 Juli ke 1 Agustus memberikan ruang manuver lebih bagi Ishiba, setidaknya hingga pemilu majelis tinggi Jepang pada 20 Juli. Menteri Keuangan AS Scott Bessent sebelumnya menyebut pemilu ini menjadi kendala domestik dalam menyepakati perjanjian dagang.

Trump juga menegaskan tidak akan ada tarif jika Jepang atau perusahaan-perusahaannya memproduksi barang di AS. Namun, tetap saja tarif ini diberlakukan meskipun sejumlah investasi besar dari Jepang telah dilakukan, seperti akuisisi United States Steel Corp. oleh Nippon Steel, serta rencana SoftBank untuk membangun kawasan industri senilai triliunan dolar di Arizona guna memproduksi robot dan teknologi kecerdasan buatan.

Trump turut memperingatkan bahwa jika Jepang memberlakukan tarif balasan, maka AS akan menambahkan besaran tarif tersebut ke dalam tarif 25% yang sudah ditetapkan.

Surplus perdagangan Jepang dengan AS tahun lalu mencapai ¥8,6 triliun (sekitar US$59 miliar), tertinggi kelima sepanjang sejarah. Trump menyebut bahwa AS harus menghentikan pola defisit perdagangan yang berkepanjangan dan disebabkan oleh kebijakan tarif dan non-tarif serta hambatan dagang dari Jepang.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper