Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) mengungkap potensi kerugian berupa penurunan pangsa ekspor dan devisa hasil ekspor furnitur imbas penerapan tarif Trump 32% per 1 Agustus 2025.
Ketua Umum Himki mengatakan, pihaknya masih menghitung ulang potensi kerugian akibat kebijakan tersebut, kendati potensi penurunan daya saing produk mebel dan kerajinan Indonesia akan sangat signifikan.
Untuk diketahui, nilai ekspor mebel Indonesia ke Amerika Serikat (AS) pada 2024 diperkirakan lebih dari US$2,5–US$3 miliar per tahun atau mencapai 54% pangsa pasar ekspor.
“Dengan penambahan bea masuk 32%, maka risiko penurunan volume ekspor dapat mencapai 30%–50%, tergantung respons pasar dan kemampuan pelaku usaha menahan kenaikan harga jual,” ujar Sobur kepada Bisnis, Rabu (9/7/2025).
Terlebih, tarif produk sejenis dari negara pesaing seperti Vietnam, Malaysia, Meksiko relatif lebih rendah yang berada di kisaran 20%—25%.
Sobur juga menerangkan kebijakan tarif Trump ini juga berpotensi menciptakan kerugian devisa secara perhitungan kasar bisa mencapai US$750 juta–US$1,5 miliar per tahun hanya dari pasar AS.
Baca Juga
“Itu belum termasuk efek domino ke hulu, penyerapan bahan baku, tenaga kerja, hingga aktivitas ekonomi turunan di sentra-sentra industri furnitur Indonesia,” jelasnya.
Oleh karena itu, pengusaha mebel mendorong mitigasi dengan tiga arah utama yakni pemerintah RI–AS untuk meninjau ulang kebijakan tarif, percepatan diversifikasi pasar ke Eropa, Timur Tengah, dan Asia, serta penguatan nilai tambah & efisiensi produksi agar produk tetap kompetitif.
Sobur juga meminta semua pelaku usaha mebel tetap optimistis, waspada, dan bersiap dengan strategi adaptif untuk melewati masa transisi kebijakan ini.
“Sektor ini bukan hanya berperan sebagai penyumbang devisa, tetapi juga menyangga keberlangsungan lebih dari 2 juta tenaga kerja, mayoritas di daerah-daerah sentra produksi seperti Jatim, Jateng, Jabar,” tuturnya.
Di satu sisi, pihaknya memahami bahwa isu defisit neraca perdagangan menjadi salah satu pertimbangan kebijakan pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Namun, Sobur menilai penanganan persoalan defisit seharusnya dilakukan dengan pendekatan dialog konstruktif, relasi bilateral yang setara, serta negosiasi berbasis kepentingan bersama.
“Kebijakan tarif tinggi yang bersifat unilateral justru berpotensi memicu ketidakpastian dan kontraksi di rantai pasok global, yang pada akhirnya juga akan berdampak pada konsumen di pasar Amerika sendiri,” terangnya.
Di sisi lain, pengusaha akan terus memperkuat daya tahan industri mebel dan kerajinan Indonesia dengan strategi jangka menengah dan panjang.
Hal ini juga mencakup diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara lain di kawasan Asia, Eropa, dan Timur Tengah, India dan Asean, penguatan branding produk bernilai tambah tinggi, peningkatan efisiensi produksi, dan pembenahan kebijakan hulu-hilir agar rantai pasok semakin berdaya saing.