Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) menilai pangsa pasar produk mebel di Uni Eropa sangat besar, terlebih bila didukung dengan kesepakatan kemitraan dagang Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Namun, potensi tersebut belum bisa menggantikan pasar Amerika Serikat (AS).
Ketua Umum Himki Abdul Sobur mengatakan, nilai impor furnitur oleh Eropa dalam setahun bisa mencapai US$58,4 miliar (€50 miliar) atau setara dengan Rp950 triliun. Impor dari Eropa kebanyakan untuk produk berbasis kayu dan dekoratif.
Adapun, beberapa negara seperti Jerman, Belanda, Prancis, dan Italia menjadi pintu masuk utama produk Asia ke seluruh Eropa.
"Namun, untuk dapat menutup loss akibat pasar AS yang menyerap lebih dari 50% ekspor furnitur Indonesia pascatarif Trump, IEU-CEPA hanya bisa menjadi salah satu solusi parsial, bukan substitusi penuh," kata Sobur kepada Bisnis, Selasa (15/7/2025).
Sobur menerangkan bahwa pasar ekspor ke Uni Eropa sangat menantang lantaran lebih ketat dalam hal standar keberlanjutan (sustainability) dan due diligence, termasuk EUDR yang efektif 2025–2026.
Untuk itu, bagi produsen furnitur lokal butuh waktu adaptasi, investasi, dan reposisi produk agar dapat memasuki pasar di wilayah-wilayah tersebut. Pihaknya menilai bahwa Eropa lebih cocok untuk produk bernilai tambah tinggi, berdesain kuat, dan berdaya saing non-harga.
Baca Juga
"Pasar ini cocok untuk pelaku mebel dan kerajinan yang siap ekspansi brand dan inovasi desain, bukan sekadar volume," jelasnya.
Kendati demikian, Sobur tak memungkiri berbagai keuntungan setelah IEU-CEPA rampung yakni Indonesia akan mendapatkan fasilitas bebas bea masuk (zero tariff) untuk sebagian besar produk furnitur dan kerajinan ke negara-negara Uni Eropa.
Selain itu, akses pasar lebih luas dan kompetitif, bersaing langsung dengan Vietnam, Malaysia, dan negara-negara Afrika Utara yang lebih dulu telah mendapat fasilitas tarif rendah.
Di sisi lain, Sobur juga menerangkan bahwa terdapat insentif percepatan transformasi industri agar lebih ramah lingkungan, berkualitas tinggi, dan bersertifikat sesuai standar Uni Eropa, seperti Forest Stewardship Council (FSC) hingga Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK+).
Indonesia juga berpotensi melakukan kerja sama teknis dan investasi bersama (joint venture) dengan brand Eropa untuk produksi di Tanah Air, serta potensi penguatan posisi Indonesia sebagai alternatif supply chain Eropa, terutama pascadisrupsi global dan konflik kawasan.
Untuk mendapatkan fasilitas IEU-CEPA tersebut, Himki mendorong harmonisasi regulasi teknis, di mana pemerintah perlu mendampingi pelaku usaha dalam memenuhi standar teknis dan sustainability Eropa seperti due diligence, eco-labeling, dan carbon footprint tracking.
Kemudian, industri dalam negeri juga harus melakukan penguatan pengawasan SKA (certificate of origin). Sesuai surat HIMKI No. 117/HIMKI-DPP/VII/2025, kami mendorong pengetatan SKA untuk mencegah penyimpangan asal barang (transshipment), yang bisa merusak reputasi Indonesia di mata mitra dagang UE maupun AS.
Lebih lanjut, dia juga mendorong perluasan fasilitas ekspor berbasis pembinaan UMKM.
"IEU-CEPA jangan hanya dinikmati pemain besar. Harus ada program scaling-up UMKM mebel dan kerajinan, termasuk insentif fiskal dan pembinaan ekspor," pungkasnya.