Bisnis.com, JAKARTA — Transshipment atau pengalihan barang asal China lewat Indonesia diyakini menjadi isu yang lebih genting daripada ancaman tarif sebesar 32% oleh Presiden AS Donald Trump terhadap barang asal Indonesia.
Peneliti Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Riandy Laksono menjelaskan bahwa ancaman utama dalam dinamika perdagangan saat ini bukan hanya tarif tinggi, tetapi juga potensi hambatan akibat tuduhan transshipment China.
Menurutnya, rivalitas dagang antara AS dan China telah bergeser dari sekadar perang tarif menjadi upaya memetakan ulang rantai pasok global. AS, kata dia, kini bukan hanya menghambat produk “made in China”, tetapi juga berpotensi menghambat barang “made by China” yang diproduksi oleh pabrik-pabrik China di negara lain termasuk Indonesia.
“Banyak pabrik relokasi membawa serta bahan bakunya dari China, dan itu yang sering dilabeli sebagai transshipment. Padahal transshipment ini muncul karena insentif tarif yang berbeda-beda yang diciptakan sendiri oleh AS,” ujar Riandy dalam media briefing di Kantor CSIS, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).
Dia mencontohkan, dalam perjanjian dagang umumnya dikenal konsep rules of origin, yang menentukan apakah suatu produk layak mendapatkan tarif rendah atau bahkan 0%.
Dalam konteks ini, definisi transshipment harus diperjelas sehingga konsep rules of origin tidak disalahgunakan untuk mendapatkan tarif rendah. Misalnya, jika Indonesia mempunyai perjanjian perdagangan bebas dengan Australia maka China menjual barangnya ke Australia dengan terlebih dahulu melakukan transshipment melalui Indonesia agar bisa mendapatkan tarif rendah.
Riandy mencontohkan, transshipment bisa sekadar mengganti label barang dari "made in China" menjadi "made in Indonesia". Masalahnya, apakah itu sudah memenuhi persyaratan rules of origin atau perlu proses manufaktur yang cukup signifikan seperti perubahan kode HS (Harmonized System Code) terlebih dahulu. "Permasalahannya adalah sampai sekarang belum jelas transshipment itu apa," katanya.
Riandy menyebut ada potensi negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, hingga Malaysia akan dikenai tarif minimum (baseline) yang mengikuti tarif kesepakatan antara Vietnam-AS.
Dalam kesepakatan itu, AS tetap mengenakan tarif tinggi hingga 40% terhadap barang asal China yang hanya sekadar transit di Vietnam sebelum masuk ke pasar Amerika. Sementara barang asal Vietnam diturunkan tarifnya dari 46% ke 20%.
Menurutnya, AS bisa menjadikan tarif tinggi sebagai baseline, lalu memberikan potongan hanya kepada negara yang bisa membuktikan tidak melakukan transhipment, seperti kesepakatan AS-Vietnam.
“Jangan-jangan 40% itu baseline-nya, lalu 20% itu hanya jika bisa membuktikan bebas transhipment. Ini yang bahaya, karena untuk membuktikan bebas transhipment itu sulit sekali,” ujar Riandy.
Masalahnya, isu transshipment ini tak sekadar soal barang jadi tetapi bisa meluas hingga aktivitas investasi. Menurutnya, negara yang ingin tetap mendapat tarif rendah harus membuktikan rantai pasoknya bersih dari bahan baku asal China.
Imbasnya, negara-negara Asean bisa terdorong membangun dua rantai pasok terpisah, satu untuk pasar AS, satu untuk pasar China. Konsekuensinya, biaya produksi naik, ekspor bisa terganggu, dan pertumbuhan industri melambat.
Apalagi, negara-negara Asean sangat tergantung dengan bahan baku asal China. Dia mencatat, impor bahan baku Indonesia dari China mencapai 25%, bahkan ketergantungan impor bahan baku Vietnam (31,9%) dan Kamboja (54,7%) lebih tinggi.
Meski demikian, Riandy menilai peluang diversifikasi pasar masih terbuka lebar. Banyak produk utama ekspor Indonesia ke AS seperti tekstil, alas kaki, hingga komoditas berbasis sumber daya alam seperti minyak sawit, karet, dan udang mempunyai pasar yang besar di luar AS.
Dia mencatat, secara global, Uni Eropa (31%) merupakan pengimpor terbesar 20 produk utama Indonesia tersebut pada 2023. Misalnya secara global, Uni Eropa merupakan pengimpor 48% produk alas kaki (HS 6403) secara global.
“Justru negosiasi perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa [Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA] perlu dipercepat, bahkan didorong lebih luas ke kawasan untuk menghindari risiko diskriminasi seperti kasus tarif AS ini,” ujar Riandy.
Hanya saja, dia mengingatkan tantangan terbesar tetap ada pada ketergantungan bahan baku masih terkonsentrasi di negara tertentu seperti China. Menurutnya, diversifikasi pasar memang bisa namun diversifikasi bahan baku dan jauh lebih sulit.
Transshipment China Masuk Radar Nego Dagang RI-AS
Pemerintah mengisyaratkan bahwa isu transshipment turut menjadi perhatian dalam proses negosiasi tarif Trump, antara RI dan AS. Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto mengakui bahwa transhipment sudah menjadi praktik umum dalam perdagangan internasional.
“Itu [isu transshipment] sudah masuk substansi, jadi saya tidak bisa menyampaikan. Tapi saya yakin setiap negara itu ada model seperti itu,” ujar Haryo dalam keterangannya pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2025).
Dia pun menjelaskan bahwa isu seperti ini memang wajar muncul dalam perundingan dagang. Pada akhirnya, isu transshipment akan menjadi bagian dari proses negosiasi yang berjalan termasuk antara Indonesia dengan AS.
Hanya saja, Haryo tidak bisa mendetailkan apakah isu transshipment barang asal China yang melalui Indonesia menjadi penghalang kesepakatan dagang antara Indonesia dengan AS.
“Saya yakin itu [isu transshipment] jadi pertimbangan, perhitungan. Tapi untuk detail berpengaruh atau tidak, itu bagian dari negosiasi tentunya,” tutupnya.