Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi mengungkapkan China masih tetap menjadi acuan pengembangan teknologi kereta cepat di Tanah Air.
"Sebenarnya kalau mau mengembangkan suatu teknologi seperti kereta cepat, memang seharusnya merujuk pada satu mazhab tertentu untuk mempermudah di dalam pengoperasian dan perawatan," kata Dwiyana kepada Antara di Beijing, Selasa (8/7).
Dwiyana menyampaikan hal tersebut di sela-sela Kongres Global ke-12 Kereta Cepat pada 8-11 Juli 2025 di Beijing. Indonesia diundang ke acara tersebut karena memiliki kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) yang beroperasi sejak Oktober 2023.
"Bukan berarti Indonesia tidak melihat teknologi dari negara lain seperti dari Eropa atau Jepang atau Korea Selatan, tapi berdasarkan pengalaman, standardisasi teknologi itu penting, karena akan memudahkan semuanya, sedangkan bila menerapkan berbagai variasi teknologi di dalam infrastruktur maka dalam perawatannya pasti menyulitkan kita," ungkapnya.
China menjadi rujukan Indonesia dengan pertimbangan bahwa teknologi kereta cepat di negara tersebut sudah maju.
"Di Tiongkok [China] sekarang teknologinya benar-benar sudah 'advance'. Saat ini mereka sedang mengembangkan kereta cepat untuk kecepatan 450 km per jam, jadi menurut saya ya wajar kalau China menjadi salah satu tujuan kita melakukan 'benchmark' untuk teknologi kereta api cepat," tambahnya.
Baca Juga
Teknologi kereta cepat dari China itu, ungkap Dwiyana, diimplementasikan 100 persen dalam kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) sehingga Whoosh menjadi contoh pertama penerapan teknologi kereta cepat China di negara lain.
"Sekarang Indonesia adalah negara kedua yang memiliki kereta api cepat dengan kecepatan 350 km per jam setelah China," tuturnya.
Namun untuk menyediakan layanan kereta cepat, dibutuhkan dukungan kuat pemerintah, khususnya karena moda transportasi tersebut mahal.
"Untuk rencana kereta cepat Jakarta-Surabaya itu masih pra-feasibility study karena masih 'preliminary study', masih jauh, kecuali kalau pemerintah mendorong untuk pengerjanannya, kita tidak tahu 3 atau 5 tahun ke depan," kata Dwiyana.
Whoosh menelan investasi hingga 7,2 miliar dolar AS atau setara Rp110,16 triliun. Nilai investasi tersebut sebelumnya telah mengalami pembengkakan biaya sebesar 1,2 miliar AS (Rp18,36 triliun) dari target awal biaya proyek sebesar 6 miliar dolar AS (Rp91,8 triliun).