Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya dari Indonesia masih berpotensi terhambat oleh kebijakan Uni Eropa, meski perjanjian dagang Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA) telah rampung.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono menjelaskan bahwa selesainya perjanjian IEU–CEPA tidak serta-merta membuat hambatan dari Peraturan Deforestasi Uni Eropa alias European Union Deforestation Regulation (EUDR) ikut terselesaikan.
Menurut Eddy, IEU–CEPA berkaitan dengan penghapusan hambatan tarif (tariff barrier), sedangkan EUDR adalah hambatan non-tarif yang justru menjadi tantangan utama dalam ekspor komoditas seperti sawit, kopi, dan kakao ke Uni Eropa.
“Kalau untuk sawit, kopi, kakao kan masih ada hambatan non-tariff barrier, yaitu EUDR. Ini artinya kalau EUDR-nya nanti bermasalah, nggak selesai juga. Artinya IEU–CEPA tidak [berlaku terhadap kebijakan EUDR]. Pasti pertama yang akan diseleksi dari non-tariff barrier-nya dulu. Jadi nggak otomatis,” jelas Eddy saat dihubungi Bisnis, Senin (14/7/2025).
Lebih lanjut, Eddy menyebut bahwa implementasi kebijakan EUDR saat ini masih ditunda. Namun, Indonesia dikategorikan sebagai negara risiko menengah (medium risk), sehingga 3% dari produk ekspor wajib menjalani proses uji tuntas (due diligence), termasuk memiliki bukti ketelusuran (traceability) bahwa produk tersebut tidak berasal dari lahan hasil deforestasi setelah 31 Desember 2020.
Kondisi ini berpotensi menghambat ekspor sawit dan produk turunannya ke Uni Eropa meskipun tarif ekspor telah disepakati menjadi 0% melalui IEU–CEPA.
Baca Juga
“Misalnya, nanti kita tidak lolos di EUDR, berarti ini nggak ada gunanya IEU–CEPA. Artinya, IEU–CEPA tidak bisa diberlakukan karena [Indonesia] enggak bisa ekspor [ke Uni Eropa]. Gimana mau diberlakukan IEU–CEPA, kalau itu kita ditolak barang kita karena dianggap deforestasi,” terangnya.
Dia menegaskan, meskipun Indonesia telah memperoleh fasilitas bebas tarif ekspor dari Uni Eropa melalui IEU–CEPA, bukan berarti ekspor sawit dan produk turunannya akan otomatis diterima, selama hambatan non-tarif seperti EUDR belum terselesaikan.
“IEU–CEPA adalah tariff barrier. Kalau EUDR itu non-tariff barrier. Jadi beda barang ini. Begitu non-tariff barrier-nya enggak terpenuhi, kita enggak bisa ekspor [ke Uni Eropa]. Gimana kita bisa pakai yang tariff barrier-nya 0%,” jelasnya.
Karena itu, Gapki mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah EUDR sebelum tenggat waktu diberlakukan. Salah satu usulan yang diajukan adalah melalui kerja sama antarpemerintah atau government-to-government (G2G).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa melalui perjanjian dagang IEU–CEPA, produk Indonesia dapat masuk ke pasar Uni Eropa tanpa bea masuk alias tarif 0%.
Airlangga menjelaskan bahwa negosiasi IEU–CEPA telah berlangsung selama 10 tahun dan melewati lebih dari 19 putaran perundingan. Ia memastikan bahwa seluruh isu akan dirampungkan agar perjanjian dapat segera diteken Presiden.
“IEU–CEPA ini kita sudah berunding masuk tahun ke-10, lebih dari 19 putaran. Namun seluruh isunya akan selesai. Dan ini tentu merupakan sebuah milestone baru di tengah situasi ketidakpastian,” ujar Airlangga dalam keterangan pers yang dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (13/7/2025).
Lebih lanjut, Airlangga menyampaikan bahwa penandatanganan perjanjian IEU–CEPA direncanakan berlangsung pada kuartal III/2025 di Jakarta. Namun, dia belum memberikan kepastian soal jadwal detailnya.