Bisnis.com, JAKARTA — Kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat dinilai sebagai manuver strategis pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mendiversifikasi ketergantungan ekonomi dari China dan meningkatkan posisi Indonesia dalam rantai pasok manufaktur global.
Senior Economist Natixis untuk kawasan Emerging Asia Trinh Nguyen menjelaskan bahwa penurunan tarif impor barang Indonesia ke Amerika Serikat (AS) dari 32% menjadi 19% membuat RI sebagai negara dengan tarif ketiga kedua di Asia, hanya kalah dari Singapura (10%). Di negara kawasan Asean, angka itu hampir setara dengan tarif yang dikenakan terhadap Vietnam (20%) dan Filipina (20%).
"Kesepakatan ini menunjukkan ambisi Indonesia untuk merebut peluang dari relokasi rantai pasok global keluar dari China," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (16/7/2025).
Trinh menjelaskan bahwa meskipun China merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia, hubungan dagang kedua negara justru mencatatkan defisit yang kian membesar. Sebaliknya, AS memberikan surplus dagang terbesar bagi Indonesia yaitu sekitar US$19 miliar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor ke China pada 2024 mencapai US$73,85 miliar atau 31,40% dari total impor sepanjang tahun lalu. Sementara itu, nilai impor dari Negeri Tirai Bambu tersebut mencapai US$65,83 miliar. Dengan begitu, Indonesia masih mencatatkan defisit neraca perdagangan sebesar US$8,02 miliar tahun lalu.
Dalam konteks itu, komitmen Indonesia untuk membeli US$19 miliar tambahan produk Amerika Serikat, dari pesawat hingga produk pertanian, dinilai sebagai bagian dari strategi menyeimbangkan neraca sekaligus memperkuat hubungan bilateral.
Baca Juga
"Ekspor ke AS menyumbang 2,1% dari PDB Indonesia pada 2024, sementara impor dari AS hanya 0,7% dari PDB. Angka ini menunjukkan potensi neraca yang positif jika dimaksimalkan," ungkapnya.
Menurut Trinh, pergeseran arah kebijakan ini mencerminkan perbedaan pendekatan antara Prabowo dan pendahulunya, Joko Widodo. Jika era Jokowi fokus pada rantai nilai hilirisasi tambang dan logam maka Prabowo justru ingin mengembalikan fokus pada sektor manufaktur padat karya.
Dengan 193 juta penduduk usia produktif dan 59% pekerja berada di sektor informal, sambungnya, Indonesia butuh mesin pertumbuhan baru yang mampu menyerap tenaga kerja. Dia melihat strategi hilirisasi mineral Jokowi belum menjawab persoalan surplus tenaga kerja itu
Hanya saja, kesepakatan dagang RI-AS itu tidak tanpa risiko. Trinh menyoroti keberadaan klausul penalti atas praktik transshipment atau pengalihan barang dari negara ketiga yang berpotensi tetap dikenai tarif tinggi. Dia melihat klausul transshipment itu mempersulit strategi ekspor Indonesia yang masih bergantung pada bahan baku impor, terutama dari China.
"Transshipment akan menjadi tantangan tersendiri. Apalagi Indonesia sudah dibanjiri barang murah dari China yang menekan industri dalam negeri. Padahal ekspor ke China setara 4,2% PDB, dua kali lipat dibanding ekspor ke AS, dan relasi investasi keduanya juga dalam," jelas Trinh.
Untuk benar-benar menarik investasi, dia menyarankan Indonesia membenahi faktor pendukung lainnya, mulai dari regulasi ketenagakerjaan, biaya input seperti listrik, hingga infrastruktur.
Posisi Indonesia di Mata Investor
Meskipun demikian, Trinh menilai langkah cepat Indonesia menyepakati tarif dengan AS menunjukkan keseriusan mempererat hubungan ekonomi bilateral dan membuka peluang menjadi hub produksi alternatif di Asia Tenggara.
“Tidak seperti Vietnam, Indonesia justru menjadi negara dengan paparan tarif paling rendah di Asia. Dengan kesepakatan ini, Indonesia menunjukkan bahwa dirinya terbuka bagi bisnis dan restrukturisasi rantai pasok global,” tuturnya.
Menurutnya, meskipun rincian tarif sektoral masih belum jelas, kesepakatan ini memberikan sinyal kuat bahwa tarif minimum untuk ekspor Asia ke AS akan berkisar 10–20%. Dia meyakini Indonesia kini berada di posisi yang kompetitif.