Bisnis.com, JAKARTA — Komisi X DPR mengkritik langkah BPS yang menunda penyampaian rilis data kemiskinan, yang sejatinya diumumkan pada Selasa, 15 Juli 2025.
Wakil Ketua Komisi X Maria Yohana Esti Wijayati menyampaikan padahal data tersebut menjadi acuan penting dalam menentukan indikator dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 yang tengah berlangsung.
Pasalnya, akibat penundaan tersebut, Maria mengaku Komisi X ikut terbawa kritik karena BPS merupakan mitra kerjanya.
“Kami meminta supaya BPS untuk dapat menyampaikan data-data secara terbuka untuk hal yang memang boleh terbuka, dilakukan di bulan yang seharusnya disampaikan,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi X DPR, Kamis (17/7/2025).
Sejatinya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan profil kemiskinan di Indonesia semester I/2025 dan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia semester I/2025 pada Selasa (15/7/2025), pukul 11.00 WIB.
Kemudian pada hari seharusnya data tersebut disampaikan, pada pukul 10.13 WIB, BPS mengumumkan penundaan rilis dalam halaman resminya. Kurang dari 12 jam sejak undangan rilis disampaikan.
Baca Juga
Maria meminta penjelasan dari Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti untuk mengklarifikasi penyampaian data yang ditunda tersebut.
Bukan tanpa sebab, pasalnya sempat ada data yang salah dan terlanjur dijadikan indikator APBN 2026.
Politisi dari PDI Perjuangan tersebut menuturkan data yang salah tersebut adalah literasi membaca yang ditargetkan sebesar 65,89 untuk tahun 2026. Padahal Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menyampaikan data untuk per 2024, literasi membaca telah mencapai 72,44.
“Berarti kan kami salah mencantumkan target di 2026. Nah ini siapa yang kemudian harus memperbaiki sementara kami sudah dok [ketok] itu kemarin di rapat. Tentu ini kan menjadi problem, termasuk data-data yang lain,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala BPS Amalia menyampaikan penundaan tersebut dengan alasan untuk memastikan kualitas data.
“Karena kami menyadari semakin lama, data BPS semakin dijadikan rujukan. Artinya BPS tidak boleh salah ini yang kami sedang lakukan memfinalkan angka dan kami pastikan keakuratan dengan adanya rilis Bank Dunia,” jelasnya.
Untuk itu, pihaknya ingin melakukan pengecekan ulang data kemiskinan milik Bank Dunia dan milik BPS, agar kualitas meningkat.
Pada akhir April lalu, Bank Dunia merilis laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025. Angka kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia terungkap sebesar 60,3% untuk periode 2024.
Persentase tersebut berdasarkan ambang batas garis kemiskinan negara berpendapatan menengah-atas yaitu pengeluaran per kapita sebesar US$6,85 per hari. Apabila dihitung dengan kurs JISDOR Rp16.829 per dolar AS, maka US$6,85 menjadi sekitar Rp115.278.
Perlu dicatat, garis kemiskinan dalam PPP tidak bisa dikonversi dengan kurs biasa. Angka garis kemiskinan itu harus dihitung dengan PPP Conversion Factor, yang nominalnya berbeda untuk setiap negara.
Berdasarkan catatan Bank Dunia, PPP conversion factor Indonesia 2017 adalah 5.607,5, sehingga garis kemiskinan Indonesia dengan standar negara berpenghasilan menengah-atas US$6,85 setara dengan Rp38.411,37 per kapita per hari, atau sekitar Rp1.152.341 alias Rp1,15 juta per bulan.