Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mengatur pajak atas kripto sebagai instrumen keuangan. Selama ini, pajak kripto hanya diatur sebagai komoditas.
Rencana itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto usai acara Peluncuran Piagam Wajib Pajak di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Selatan pada Selasa (22/7/2025).
"Coba dilihat kembali, dulu kami mengatur kripto itu sebagai bagian dari komoditas. Kemudian ketika dia beralih kepada instrumen finansial, maka aturannya harus kita sesuaikan," ungkap Bimo.
Hanya saja, anak buah Sri Mulyani itu belum mau menjelaskan secara detail skema perpajakan kripto sebagai instrumen keuangan itu. Bimo meminta setiap pihak bersabar karena aturannya masih dalam tahap penyusunan.
Sebelumnya, rencana perluasan pajak kripto itu diungkapkan oleh Bimo dalam rapat dengan Komisi XI DPR pada Senin (14/7/2025). Langkah tersebut merupakan bagian dari inisiatif besar untuk memperluas cakupan pemajakan atas transaksi digital yang akan diterapkan secara lebih sistematis mulai 2026.
Adapun notabene, pajak kripto sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 68/PMK.03/2022 dan PMK No. 81/2024. Kendati demikian, pemungutan hanya dilakukan dalam setiap transaksi jual-beli dengan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 0,11% dan dan tarif pajak penghasilan (PPh) final 0,1%.
Baca Juga
Singkatnya, tarif pajak kripto sebagai komoditas tidak terlalu besar. Sejak dipungut pada 2022, Direktorat Jenderal Pajak mencatat penerimaan dari pajak transaksi kripto sebesar Rp1,2 triliun hingga 31 Maret 2025.
Sementara jika pajak kripto dipungut sebagai instrumen keuangan maka akan ada perluasan cakupan. Secara umum, instrumen keuangan masuk ke dalam rezim pajak pasar modal yang di dalamnya terdapat pajak atas keuntungan penjualan aset dan pajak (capital gain tax) atas pembagian laba (dividend tax).
Sementara itu, Chairman Indodax Oscar Darmawan mengapresiasi langkah pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak yang sedang memfinalisasi kebijakan perpajakan aset kripto. Menurutnya, langkah tersebut merupakan sinyal positif karena menunjukkan komitmen pemerintah untuk menata industri aset digital secara lebih inklusif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi finansial.
Kendati demikian, seiring dengan berpindahnya pengawasan aset kripto ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mulai Januari 2025, dia berharap revisi aturan pajak juga mempertimbangkan status baru kripto sebagai produk keuangan, bukan lagi komoditas.
"Jika mengacu pada perlakuan produk keuangan lainnya, seharusnya aset kripto tidak lagi dikenakan PPN, melainkan hanya pajak penghasilan yang sifatnya proporsional dan adil," ujar Oscar pada beberapa waktu lalu.
Dia mengusulkan agar prinsip pajak kripto adalah fairness dan feasibility. Fairness berarti pajak tidak memberatkan pelaku industri maupun investor ritel, dan selaras dengan praktik global. Feasibility berarti mekanisme pemungutannya harus jelas dan sederhana agar tidak menimbulkan kebingungan dan lebih transparan.
Oscar juga mendorong agar pemerintah melibatkan asosiasi dan pelaku industri dalam penyusunan aturan baru pajak kripto. Tujuannya agar kebijakan yang lahir tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi mendukung inovasi, meningkatkan daya saing, serta menjadikan Indonesia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi digital di kawasan.
"Banyak negara besar yang masih menggunakan skema pajak atas capital gain, bukan transaksi, sehingga revisi aturan ini dapat menjadi momentum untuk mendekatkan Indonesia pada praktik internasional yang lebih kompetitif," ujarnya.