Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah berencana membangun kilang minyak berkapasitas total 1 juta barel per hari yang terbagi di 18 lokasi di Tanah Air. Keterlibatan Badan Pengelola Investasi Danantara pun disebut menjadi asa baru untuk merealisasikan proyek tersebut.
Rencana pembangunan kilang itu telah memasuki tahap studi awal dan ditaksir menelan investasi sebesar Rp160 triliun. Proyek kilang ini pun termasuk dalam 18 proyek prioritas hilirisasi dan ketahanan energi yang diserahkan oleh Satgas Hilirisasi kepada Danantara.
Adapun, 18 lokasi pembangunan kilang itu ialah Lhokseumawe, Sibolga, Natuna, Cilegon, Sukabumi, dan Semarang. Lalu, Surabaya, Sampang, Pontianak, Badung (Bali), Bima, Ende, Makassar, Dongala, Bitung, Ambon, Halmahera Utara, serta Fakfak.
Di samping Kilang, pemerintah juga akan membangun fasilitas penyimpanan minyak di 18 lokasi yang sama dengan investasi senilai Rp72 triliun. Dari sisi kemanfaatan kepada masyarakat, proyek kilang 1 juta barel itu diproyeksi bisa membuka lapangan kerja baru untuk 50.960 orang.
Ketua Satgas Hilirisasi sekaligus Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, proyek kilang 1 juta barel akan dibangun dengan kerja sama Danantara. Bahkan, pihaknya telah melakukan studi banding ke Amerika Serikat (AS) dan Angola.
"Kita akan membangun storage crude untuk ketahanan energi kita selama 21 hari. Dengan sinergi antara satgas dan Danantara maka insyaallah proyek yang hari ini masih menjadi rencana, insyaallah akan menjadi realita," ucap Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (22/7/2025) lalu.
Baca Juga
Menurut Bahlil, penyempurnaan pra-studi kelayakan (pra-FS) proyek kilang ini itu bakal dilakukan oleh Danantara. Dia menyebut, Danantara juga yang selanjutnya bakal menentukan skema pembiayaan dan skala prioritas dari proyek.
Selain itu, Danantara juga akan menentukan model bisnis dan pelaku usaha pelaksana proyek. Lalu, menetapkan lokasi dan persiapan pelaksanaan groundbreaking. Danantara juga akan melakukan percepatan penyelesaian kendala proyek terkait perizinan, penyiapan lahan, serta mitigasi sosial dan lingkungan.
"Silakan teman-teman Danantara untuk melakukan kajian, nanti tim kami sama-sama juga dengan Danantara bersama-sama untuk kalau informasi apa yang belum atau segala macam kita kasih. Jadi Satgas juga bantu segala prosesnya," tutur Bahlil.
Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai keterlibatan Danantara dalam proyek kilang 1 juta barel menjadi angin segar. Menurutnya, pembangunan kilang dan storage menjadi bagian dari hilirisasi migas untuk ketahanan energi nasional.
Selain itu, proyek tersebut juga bisa memperkuat ketahanan ekonomi RI. Sebab, proyek itu dapat menghemat devisa impor BBM.
Tak hanya itu, dengan meningkatnya kapasitas kilang dalam negeri, Indonesia juga tidak akan didikte pasar minyak global. Pasalnya, RI bisa memproduksi sendiri BBM di dalam negeri. Pri Agung pun menilai Danantara bisa menjadi penyokong untuk merealisasikan proyek ini.
"Dengan adanya Danantara ini saya melihatnya akan berpeluang untuk bisa merealisasikan proyek-proyek tersebut. Ada harapan untuk bisa ada solusi untuk masalah pendanaan dan juga leverage dan network untuk pemenuhan mata rantai supply-nya," ujar Pri Agung kepada Bisnis, Senin (28/7/2025).
Dalam hal kesiapan, dia berpendapat pada dasarnya RI mampu membangun kilang tersebut. Menurut Pri Agung, pada periode sebelum 1994, Indonesia sudah memiliki pengalaman dalam pengembangan kilang berkapasitas 1 juta barel.
Dia menambahkan bahwa mandeknya sejumlah proyek kilang gas-LNG skala besar seperti Arun, Badak-Bontang, hingga Tangguh karena masalah politik, pendanaan, dan prioritas investasi. Oleh karena itu, dia optimistis keberadaan Danantara bisa merealisasikan proyek kilang 1 juta barel itu.
"Jadi kalau sekarang sudah dimasukkan ke dalam program prioritas, ya artinya kita memang sudah lebih siap dalam ketiga aspek tersebut," imbuh Pri Agung.
Tantangan Keekonomian
Sementara itu, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, pembangunan kilang 1 juta barel dapat mengurangi impor BBM. Oleh karena itu, nilai tambahnya bisa dinikmati masyarakat Indonesia.
"Kami mendukung pembangunan kilang. Daripada kita impor BBM, kita harus bagaimana caranya menekan impor BBM dari luar negeri sehingga nilai tambahnya itu dimanfaatkan oleh Indonesia," ucap Moshe.
Apalagi, dalam pembangunan kilang terdapat sejumlah sektor pendukung seperti perusahaan dalam negeri yang dilibatkan hingga pembukaan lapangan kerja bagi warga setempat.
"Jadi banyak sekali manfaatnya kita bangun kilang di Indonesia daripada kita impor BBM dari luar negeri," imbuhnya.
Kendati demikian, Moshe mengingatkan pemerintah harus secara tepat mengalkulasi keekonomian dari proyek kilang tersebut. Menurutnya, jangan sampai biaya pembangunan kilang itu membengkak dari rencana awal.
Dia menyebut, proyek pembangunan kilang rentan mengalami pembengkakan biaya. Moshe mencontohkan, biaya proyek RDMP Balikpapan yang membengkak dari seharusnya sekitar US$4 miliar menjadi US$7,4 miliar atau sekitar Rp117,8 triliun.
"Cost overrun [pembengkakan biaya] itu bisa meningkat secara drastis. Nah, itu yang mesti diharapkan bisa diantisipasi oleh pemerintah," ucap Moshe.
Di sisi lain, Moshe mengkritisi pemilihan lokasi kilang. Menurutnya, mayoritas lokasi pembangunan kilang berada di luar Jawa. Padahal, kata dia, mayoritas kebutuhan BBM di Indonesia berada di Pulau Jawa. Apalagi, sekitar 60% populasi dan 80% perputaran ekonomi RI masih berada di Pulau Jawa.
Menurut Moshe, lokasi kilang yang berada jauh dari basis konsumsi BBM berpotensi menggelembungkan ongkos logistik untuk membawa pasokan minyak mentah ke fasilitas pengolahan.
"Kalau lokasi di luar dari Jawa, tantangannya adalah mungkin demand-nya itu tidak sebesar di Jawa. Jadi harus diperhatikan juga posisi kilangnya itu di mana," katanya.
Moshe lantas menjelaskan kilang-kilang kecil dengan kapasitas produksi sekitar 50.000 hingga 100.000 barel per hari memang cocok ditempatkan di beberapa daerah yang sulit dijangkau.
Namun, kilang berskala kecil tersebut diprediksi tidak ekonomis. Sebab, biaya produksi yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan dengan hasil olahan minyak yang diproduksi. Begitupun sebaliknya.
"Secara economies of scale, kalau kita produksi langsung skala masif besar, harga per barelnya, biaya per barelnya juga akan menjadi lebih kecil. Dibandingkan dengan kita produksi skalanya sedang atau kecil, biaya produksinya jadi meningkat," jelas Moshe.
Danatara Perlu Partner
Moshe menambahkan bahwa sebaiknya Danantara menggandeng pihak lain dalam membangun kilang 1 juta barel itu. Sebab, biaya untuk pembangunan kilang itu tidak sedikit.
Karena itu, Danantara pun harus berhati-hati. Terlebih, Danantara yang mengelola BUMN, berarti ikut memegang 'uang rakyat'. Dia pun menilai Danantara berbagi risiko dengan pihak lain karena ada risiko pembengkakan biaya hingga keekonomian dalam proyek kilang tersebut.
"Jadi saran saya adalah Danantara juga harus bagaimana memitigasi risikonya dengan cara berkolaborasi dengan investor lain," tutur Moshe.
Menurutnya, dengan menggandeng pihak lain, Danantara pun bisa terhindar dari opsi mengambil pinjaman baru. Hal ini dapat membuat malah keekonomian dari proyek kilang makin rumit.
"Danantara harus bisa sama-sama. Jadi sama-sama dari sisi equity partner-nya. Sama-sama mengambil risiko di proyek-proyek yang 18 proyek tersebut," katanya.
Sebelumnya, CEO Danantara Rosan Roeslani menuturkan, pihaknya terbuka untuk membiayai 18 proyek hilirisasi prioritas. Namun, hal itu bakal diputuskan jika proyek yang ditawarkan memenuhi kriteria Danantara, misalnya besaran potensi pembukaan lapangan kerja baru dari proyek.
Dia pun menyebut, setelah mengkaji pra-FS, pembiayaan untuk proyek bisa langsung oleh Danantara ataupun dari badan usaha milik negara (BUMN) yang berkaitan dengan proyek.
"Sebetulnya pembiayaannya itu kita terbuka, ya. Jadi bisa dengan dari Danantara, bisa melalui BUMN yang ada, atau bisa juga kerja sama antara BUMN yang ada dengan Danantara investasi," ujar Rosan.
Selain itu, Rosan juga menyebut Danantara bisa menggandeng pihak swasta untuk pembiayaan proyek hilirisasi prioritas tersebut. Menurutnya, pihak swasta itu pun bisa berasal dari dalam dan luar negeri.
Apalagi, Rosan menilai saat ini pihaknya membutuhkan kerja sama di bidang teknologi untuk mengeksekusi investasi hilirisasi. Dia berpendapat selama ini pihak yang memiliki kemampuan teknologi mumpuni mayoritas adalah perusahaan luar negeri.
"Karena kami juga ingin memastikan pada saat investasi, teknologi yang kita pakai adalah teknologi yang terbaik. Jadi, mungkin teknologi yang terbaik itu masih dimiliki atau dikuasai oleh pihak asing. Jadi, kita ingin juga teknologi dipergunakan," jelas Rosan.