Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah memperbarui ketentuan perpajakan atas aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 50/2025. Beleid ini menggantikan regulasi sebelumnya yakni PMK No. 68/2022. Dalam aturan anyar ini, Kementerian Keuangan menyesuaikan skema pengenaan pajak kripto sebagai instrumen keuangan yang akhirnya menaikkan beban pajak.
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar yang membandingkan dua beleid pajak kripto pada Rabu, (30/7/2025) tersebut menjelaskan terdapat sejumlah poin penting mengalami perubahan drastis, baik dari sisi tarif, mekanisme pemungutan, hingga basis pengenaan pajaknya. Berikut detailnya:
- Penyerahan Aset Kripto Tak Lagi Dikenakan PPN
Dalam PMK 68/2022, penyerahan aset kripto oleh penjual dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud, sehingga dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Hanya saja, aturan terbaru dalam PMK 50/2025 menyamakan aset kripto dengan surat berharga (instrumen keuangan) sehingga tidak lagi dikenakan PPN langsung atas penyerahannya.
- Pemungut Pajak Semakin Spesifik
Fajry menyebut dalam aturan lama atau PMK 68/2022, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang menjadi pemungut adalah mereka yang memfasilitasi aset kripto. Dalam aturan baru atau PMK 50/2025, dispesifikan bahwa penyelenggara PMSE yang menjadi pemungut adalah penyelenggara yang sudah menjadi pengusaha kena pajak (PKP).
- Tarif PPN Bergeser, Basis Penghitungan Diubah
PMK 68/2022 mengatur tarif efektif berdasarkan jenis penyelenggara, yakni: 1% dari dasar pengenaan pajak (DPP) bila dilakukan oleh pedagang fisik aset kripto dan 2% dari DPP bila melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Sebaliknya, PMK 50/2025 menetapkan tarif tetap 12% dikalikan nilai DPP yang ditentukan sebesar 11/12 dari nilai penjualan aset kripto sebelum waktu setor PPN. Artinya, dasar penghitungan PPN menjadi lebih spesifik dan nominalnya jauh lebih besar.
Baca Juga
- PPh 22 Naik Dua Kali Lipat
Kenaikan yang paling mencolok terjadi pada tarif pajak pertambahan nilai (PPh) Pasal 22 atas transaksi kripto. Dalam PMK 68/2022, tarif ditetapkan 0,1% dari nilai transaksi; sementara dalam PMK 50/2025, naik menjadi 0,21%.
Tidak hanya lebih dari dua kali lipat, basis perhitungan dalam PMK baru ini juga menjadi lebih rinci dan mencakup ketentuan tambahan yang sebelumnya tidak diatur.
- Jasa Penambangan Kripto Kena Pajak Lebih Berat
Jasa verifikasi transaksi oleh penambang aset kripto (mining) juga dikenai tarif yang lebih tinggi dalam aturan baru. PMK 68/2022 mengenakan pungutan sebesar 10% × tarif PPN × DPP, sedangkan PMK 50/2025 melipatgandakannya menjadi 20% × 11/12 × tarif PPN × DPP.
- Tambahan Aturan Teknis
Berbeda dari PMK lama, PMK 50/2025 juga mulai mengatur syarat dokumen yang disamakan dengan bukti pemotongan serta menetapkan kriteria khusus penyelenggara yang boleh menjadi pemungut pajak. Aspek ini tidak diatur dalam PMK 68/2022, yang cenderung lebih longgar dari sisi administratif.
- Dampak Penerimaan Belum Pasti
Meski adanya kenaikan tarif PPN dan PPh, serta penyempurnaan aturan teknis, Fajry mengaku belum bisa memastikan dampak PMK 50/2025 ini terhadap penerimaan pajak atas aset kripto.
"Untuk potensi penerimaan perlu data transaksi," ujarnya kepada Bisnis.