Bisnis.com, JAKARTA — Pakar pertambangan menilai efisiensi produksi yang dilakukan sejumlah smelter nikel di Sulawesi dapat mengganggu iklim investasi hilirisasi mineral di Indonesia. Terlebih, sinyal tren penurunan investasi smelter nikel mulai terjadi.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengatakan kondisi penutupan lini produksi smelter nikel saat ini disebabkan faktor internal dan eksternal.
Secara keuangan, perusahaan-perusahaan smelter ini terlihat mengalami penurunan dari induk usahanya yang menyebabkan anak usahanya ikut memangkas produksi.
Sementara itu, secara eksternal, dia melihat secara global kondisi keekonomian nikel tidak bagus. Pasalnya, harga relatif rendah dan permintaan juga menurun, bahkan terjadi oversupply nikel di pasaran.
"Iya sangat mengganggu karena dampaknya bisa bertautan, termasuk juga investasi industri nikel menjadi agak terhambat," kata Bisman kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).
Jika merujuk data realisasi investasi dari Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) terjadi penurunan penanaman modal di smelter nikel secara kuartalan dan maupun tahunan.
Baca Juga
Adapun, pada triwulan II/2025 tercatat investasi smelter nikel mencapai Rp46,3 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya senilai Rp47,82 triliun dan triwulan II/2024 sebesar Rp47,5 triliun.
Menurut Bisman, kondisi ini disebabkan penurunan harga komoditas nikel yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
Namun, dia melihat penurunan harga ini dapat dijadikan sebagai peluang untuk mempercepat mengembangkan industri hilir nikel dan membangun ekosistem industri berbasis nikel.
"Mumpung harga nikel kurang baik maka bisa mendapatkan rough material lebih murah sehingga jika ditingkatkan produknya akan mempunyai nilai tambah yang tinggi," tuturnya.
Namun, dalam jangka pendek, pemerintah diminta untuk segera waspada dan melakukan upaya mitigasi, utamanya terkait risiko pengurangan tenaga kerja atau PHK dan dampak sosialnya.
"Jika diperlukan pemerintah bisa turun tangan dengan memberikan dukungan dan insentif sebagai upaya mencegah semakin terpuruk," pungkasnya.
Sebelumnya, Anggota Dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno mengatakan terdapat empat smelter di wilayah Sulawesi yang menyetop beberapa lini produksi sebagai bentuk efisiensi untuk keberlanjutan usaha.
Dia merinci, empat smelter yang dimaksud yaitu PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) yang mengurangi 15-20 link produksi nikel sejak awal 2024. Sepanjang tahun lalu tercatat 28 smelter ditutup di berbagai wilayah, paling banyak dari GNI.
Kemudian, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang menghentikan beberapa lini baja nirkarat dan jalur cold rolling sejak Mei 2025. Lalu, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe yang mengurangi kapasitas produksi, meski datanya tidak menyebutkan jumlah lini spesifik.
Terbaru, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) yang disebut telah mengurangi kapasitas agregat dan menghentikan operasional sementara sejak 15 Juli 2025. Alhasil, dikabarkan 1.200 karyawan terdampak PHK.