Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) menyebut pengusaha saat ini tengah mencari cara bertahan di tengah tekanan smelter nikel dari sisi harga, permintaan, hingga ongkos produksi yang membengkak.
Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugroho mengatakan pasokan bahan baku bijih nikel tahun lalu yang mencapai 240 juta ton belum terserap optimal di smelter-smelter dalam negeri.
“Jadi memang ada pengurangan produksi [smelter], menurut kami ini sejalan dengan perekonomian global dan harga juga turun sehingga smelter mengurangi produksi untuk menunggu sinyal harga naik,” kata Fathul saat ditemui di Jakarta, Rabu (30/7/2025).
Dalam hal ini, Fathul juga menyoroti permintaan nikel domestik yang terus turun. Menurut dia, hal ini sejalan dengan kompetisi teknologi baterai antara lithium iron phosphate (LFP) dengan nickel manganese cobalt (NMC) yang akhirnya memicu penurunan permintaan NMC.
“Nah ini akhirnya terjadi penurunan permintaan feronikel dan NPI [nickel pig iron] dari hasil smelter-smelter di Indonesia,” jelasnya.
Untuk itu, dia mendorong pemerintah untuk mendukung baterai EV berbasis nikel mendapatkan insentif sehingga para industri pengguna dapat menyerap produksi nikel nasional.
Baca Juga
“Kami Aspebindo mendorong pemerintah agar mobil-mobil yang masuk ke Indonesia itu teknologinya lebih diutamakan atau insentifnya itu diarahkan mobil-mobil yang berbasis ke nickel mangan cobalt tadi sehingga nikel Indonesia ini bisa diserap pasar lebih banyak,” tuturnya.
Menurut data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) harga nikel mengalami penurunan pada periode kedua Juli 2025.
Harga nikel kadar 1,8% dengan Moisture Content (MC) 30% yakni mencapai US$35,73 per wet metric ton (WMT), turun tipis dari periode sebelumnya yang sebesar US$35,73 per WMT.
Sementara itu, penurunan harga tercatat di hampir seluruh kadar nikel. Untuk kadar 1,8% dengan MC 35%, harga turun menjadi US$33,18 per WMT, dibanding sebelumnya US$33,18 per WMT.
Berkaitan dengan hal ini, Anggota Dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno mengatakan pemerintah diharapkan hadir sebagai fasilitator aktif dalam menjaga iklim usaha pertambangan dari hulu ke hilir.
Dalam hal ini, pengusaha juga tengah mencoba berbagai cara untuk mempertahankan produksi dengan mengurangi jumlah lini produksi aktif untuk efisiensi beban energi dan tenaga kerja, serta mengoperasikan sebagian dari total kapasitas (partial shutdown), terutama pada saat harga nikel turun drastis.
“Untuk mempertahankan produksi, pengusaha smelter meminimalkan kerugian melalui efisiensi dan diversifikasi, dan mencari dukungan regulasi dan insentif dari pemerintah,” kata Djoko kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).
Tidak hanya itu, pengusaha smelter juga melakukan perampingan operasional dengan merumahkan sebagian pekerja secara bertahap tanpa PHK massal, sambil menunggu kondisi pasar membaik dan negosiasi ulang kontrak pasokan energi dan bahan baku, termasuk renegosiasi harga bijih nikel dengan penambang.
Upaya lain yang dilakukan yaitu mengalihkan sebagian kapasitas produksi untuk menghasilkan, produk hilir seperti stainless steel slab, billet, atau coil, intermediate battery materials seperti nickel matte (untuk HPAL) dan mixed hydroxide precipitate (MHP).
Lebih lanjut, sejumlah smelter juga mulai menjajaki pengembangan HPAL dan teknologi hidrometalurgi lainnya, serta upaya penggabungan (hybrid) antara fasilitas RKEF dan HPAL agar tetap relevan dengan permintaan pasar baterai EV.