Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah optimistis bahwa kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat akan memberi keuntungan strategis bagi ekonomi nasional, meski tarif ekspor barang RI dikenai bea masuk 19% oleh AS, sementara impor barang AS ke Indonesia dibebaskan dari tarif.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menegaskan, angka 0% dan 19% yang tertera dalam kesepakatan jangan dilihat seperti skor pertandingan sepak bola.
Pasalnya, skema tarif tersebut merupakan bagian dari tren global dalam kerja sama perdagangan dan bukan bentuk ketimpangan yang merugikan Indonesia.
Dia menjelaskan bahwa dalam kesepakatan dengan AS, pemerintah memang menargetkan 99% produk Amerika akan mendapatkan perlakuan bebas bea masuk. Skema tersebut, sambungnya, selaras dengan kebijakan serupa terhadap produk dari negara-negara mitra dagang lain.
Dia mencontohkan, skema serupa juga sudah ada dalam perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dan kerja sama ekonomi komprehensif (CEPA) Indonesia dengan sejumlah negara. Selain itu, dia mencontohkan Uni Eropa, yang terdiri dari 27 negara, juga setuju membebaskan tarif impor untuk barang asal AS.
Oleh sebab itu, anak buah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto itu menyatakan Indonesia tak sedang 'menjual diri', melainkan mengikuti pola umum kerja sama perdagangan internasional.
“Jadi kalau dipertanyakan kenapa kok jadi 0%? Itu tren skema kerja sama ekonomi perdagangan sekarang itu seperti itu,” ujarnya dalam forum Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025, Selasa (29/7/2025).
Susiwijono juga menekankan bahwa tarif resiprokal 19% yang dikenakan AS kepada produk RI masih lebih baik dibandingkan dengan tarif tinggi yang dikenakan ke negara lain. Dia kembali mencontohkan Uni Eropa.
Uni Eropa setuju membeli produk AS US$750 miliar, investasi US$600 miliar, dan komitmen beli peralatan militer yang belum disebutkan nilainya. Dengan ongkos yang tinggi itu, AS tetap mengenakan tarif 15% untuk produk asal Uni Eropa.
Dia membandingkan AS yang memberikan tarif 19% ke Indonesia. Angka itu didapatkan dengan komitmen membeli barang senilai US$19,5 miliar dari AS, jauh lebih rendah dari komitmen Uni Eropa yang senilai US$750 miliar.
Ia menekankan bahwa komitmen pembelian Indonesia atas produk AS dilakukan oleh pelaku usaha, baik swasta maupun BUMN, bukan menggunakan dana APBN. Komitmen itu juga tidak akan memperlebar defisit neraca perdagangan nasional Indonesia hanya mengalihkan permintaan dari negara lain ke AS.
“Yang kita lakukan 'hanya menggeser', kebutuhan demand [permintaan] kita tetap, tapi yang dulunya dibagi di beberapa negara, kita kumpulin-kumpulin, sebagian kita ambil dari Amerika. Enggak ada yang salah dengan itu,” katanya.
Pemerintah juga menekankan pentingnya mengunci tarif masuk ke AS di level 19% agar produk padat karya RI tidak terkena beban tarif hingga lebih dari 50% akibat tarif Most Favoured Nation (MFN) dan tarif tambahan lainnya.
Susiwijono menjelaskan bahwa tarif resiprokal AS tidak menghapus kewajiban tarif MFN. Masalahnya, produk-produk padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki Indonesia mendapatkan tarif MFN yang tinggi di AS.
“Kalau produk pakaian jadi kita katakanlah bea masuknya 20%, ketambahan 32% [tarif resiprokal], diatas 50% [total kewajiban tarifnya]. Sudah mati saja gitu [industri]. Ada lebih dari 12 juta pekerja padat karya, termasuk 3 juta di sektor tekstil, apparel, dan footwear. Itu bisa berhenti semua kalau tarif makin tinggi,” ujarnya.
Menurut dia, dengan menjaga tarif di level 19%, pemerintah berhasil mengamankan ruang bernapas bagi industri padat karya nasional.
Ancaman PHK
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Tanah Air akan terus berlanjut jika tarif resiprokal yang dikenakan Presiden AS Donald Trump terhadap Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan bahwa tenaga kerja yang ter-PHK melonjak hingga 32,1% sepanjang Januari—Juni 2025 atau merupakan angka yang tinggi. Shinta juga tak mengelak angka PHK ini lantaran sejalan dengan survei yang dilakukan Apindo.
“Tetapi yang jelas kelihatan bahwa tadi kenaikan [PHK] itu ada, pemerintah sendiri mengatakan [PHK naik] 32%, itu kan angka tinggi, kenaikan yang tinggi, dan ini memang sudah dirasakan juga dari survei yang dibuat oleh Apindo,” ujar Shinta dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Lebih lanjut, Shinta menyampaikan bahwa tingginya tenaga kerja yang ter-PHK merupakan hal nyata yang terjadi saat ini. Dia juga menuturkan gelombang PHK ini masih akan terus terjadi.
“Jadi kita sama-sama sepakat bahwa ini bukan hanya sekadar PHK biasa, tetapi ini memang PHK sedang benar-benar berjalan dan masih terus bergulir,” ujarnya.
Di sisi lain, Shinta menjelaskan bahwa pemerintah berupaya meminimalisir dampak tarif ke lonjakan PHK melalui kesepakatan dagang dengan AS.
Untuk diketahui, Trump sendiri telah mengumumkan kesepakatan dagang tarif impor sebesar 19% kepada Indonesia dari sebelumnya adalah 32%. Namun, ekspor produk dari Negara Paman Sam ke Indonesia akan dibebaskan dari bea masuk alias tarif 0%.
Shinta menilai, jika Indonesia dikenai tarif impor tinggi maka akan berdampak pada ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dikhawatirkan bisa memicu gelombang PHK.
“Kalau sekarang kita nggak punya tarif yang lebih baik dari kompetitor dan ada pengalihan order, itu kan jelas akan mengganggu nantinya tenaga kerja di Indonesia juga, nanti PHK akan semakin lagi bertambah. Jadi ini hal-hal contoh yang coba dilakukan untuk meminimalisir PHK yang sudah ada,” ujarnya.