Bisnis.com, JAKARTA -- Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan bisa terpengaruh sebesar 0,3 percentage points akibat tarif 19% terhadap barang-barang Indonesia yang diimpor oleh Amerika Serikat (AS).
Hal itu diungkap oleh Pranjul Bhandari, Chief Indonesia and India Economist HSBC Global Research, pada media briefing yang diselenggarakan secara daring, Jumat (8/8/2025).
Pranjul menjelaskan bahwa selisih 0,3 percentage points itu bisa memengaruhi target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah. Sebagaimana diketahui, target pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 yakni 5,2% secara tahunan (year-on-year/yoy) dibandingkan tahun lalu.
Perkiraan Pranjul berasal dari besarnya peranan ekspor terhadap perekonomian Indonesia, di mana AS adalah negara tujuan utama kedua setelah China. Nilai ekspor Indonesia ke Negara Paman Sam itu setiap tahunnya sebesar US$25 miliar.
Kini, dengan berlakunya tarif 19% terhadap barang impor asal Indonesia ke AS, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun diperkirakan ikut getahnya. "Tarif sekitar 19% hingga 20% sebenarnya bisa merugikan pertumbuhan sekitar 0,3 poin persentase," terang Pranjul pada media briefing siang ini.
Pranjul melihat bahwa tarif impor 19% itu dapat berdampak buruk untuk jangka pendek. Namun, untuk jangka menengah, dia menilai ada peluang yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menggenjot investasi dari perusahaan atau corporate investment.
Baca Juga
Kepala Ekonom HSBC untuk wilayah Indonesia dan India itu menjelaskan rantai pasok global saat ini sedang ditata ulang di seluruh dunia. Apalagi, akibat tarif impor yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump terhadap negara-negara mitra dagangnya.
Rantai pasok yang paling terpengaruh adalah untuk manufaktur berteknologi menengah maupun barang konsumsi, seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki serta furnitur.
Akibatnya, perusahaan multinasional mencari tujuan baru untuk berproduksi dan berjualan. Untuk itu, Indonesia dinilai bisa mendapatkan keuntungan saat badai tarif Trump ini mereda.
Pranjul menyebut selama ini ekspor Indonesia ke China hampir seluruhnya berupa komoditas atau barang mentah. Sementara, ekspor ke negara-negara maju seperti AS maupun Uni Eropa, ekspor lebih banyak berbentuk barang jadi atau barang konsumsi seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki.
Akan tetapi, timpalnya, jumlahnya masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam. Oleh sebab itu, jumlahnya harus ditingkatkan sebagaimana untuk barang-barang berteknologi menengah.
Pranjul lalu menyebut di situlah Indonesia bisa mengambil peluang. Terutama saat perusahaan-perusahaan manufaktur dunia tengah mencari tujuan investasi baru, Indonesia bisa unjuk gigi karena sudah bisa memproduksi barang-barang konsumsi maupun berteknologi menengah itu.
Hal itu, lanjut Pranjul, sangat tergantung dengan reformasi yang dilakukan Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, baik dari sisi peningkatan infrastruktur, perluasan perjanjian perdagangan utamanya dengan negara-negara maju, pengembangan keterampilan tenaga kerja dalam negeri serta merampingkan proses bisnis.
Pranjul memperkirakan penanaman modal asing (PMA) Indonesia akan melonjak dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun apabila hal itu terwujud.
"Jika Indonesia dapat melakukan semua ini dengan benar, saya pikir dalam jangka waktu dua hingga tiga tahun, ini bisa menjadi peluang bagi arus masuk FDI [foreign direct investment] dan pertumbuhan," pungkasnya.