Bisnis.com, CIREBON- Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kota Cirebon, Jawa Barat, menjadi sorotan setelah sejumlah wajib pajak mendapati kenaikan signifikan yang dianggap tidak masuk akal.
Seorang wajib pajak yang enggan disebutkan identitasnya mengungkapkan, pada 2023, ia membayar pajak sebanya Rp93,9 juta untuk properti dengan luas tanah 10.000 meter persegi dan bangunan seluas 625.000 meter persegi.
Namun pada 2024, angka tersebut tiba-tiba melonjak menjadi Rp369,3 juta, lebih dari empat kali lipat.
“Ini lonjakan yang sama sekali tidak rasional. Kami tidak mendapat penjelasan transparan dari pemerintah mengenai dasar perhitungan baru ini,” ujar narasumber yang namanya tak ingin disebut kepada Bisnis, Jumat (15/9/2025).
Menurutnya, kenaikan PBB-P2 menimbulkan ketidakpastian dan kecemasan bagi warga kota Cirebon yang memiliki aset besar di wilayah perkotaan.
Hingga saat ini, pemerintah Kota Cirebon belum memberikan penjelasan rinci mengenai dasar kenaikan PBB-P2 tersebut. Beberapa pejabat daerah memilih menahan komentar, sementara warga mulai mengorganisir forum diskusi untuk menuntut klarifikasi.
Baca Juga
Lonjakan pajak yang ekstrem ini menambah daftar panjang masalah fiskal yang kerap memicu protes publik.
"Warga yang memiliki properti besar, kenaikan PBB-P2 bukan sekadar masalah nominal, tetapi juga soal prinsip keadilan dan kepastian hukum," ujarnya.
Pemerintah Kota Cirebon menyatakan kesiapannya untuk menurunkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), meskipun belum memberikan kepastian kapan penyesuaian itu mulai berlaku.
Janji ini muncul setelah gelombang aspirasi dari masyarakat yang mendesak agar tarif dikembalikan seperti pada 2023.
Aspirasi itu dipicu penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kota Cirebon Nomor 1 Tahun 2024, yang mengatur mekanisme baru penetapan PBB-P2. Beberapa warga mengklaim penyesuaian tarif ini mengakibatkan lonjakan beban pajak hingga ratusan persen, bahkan ada yang menyebutnya mencapai 1.000%.
Wali Kota Cirebon Effendi Edo membantah kabar kenaikan yang dianggap terlalu ekstrem tersebut. Ia menegaskan Pemkot memahami keresahan warga dan telah membahas persoalan ini secara internal.
Menurutnya, angka 1.000% yang beredar tidak sesuai fakta di lapangan.
“Kalau memang ada kenaikan, nilainya tidak sampai segitu. Kami sudah membicarakan ini di internal, dan akan melakukan kajian ulang. Mudah-mudahan hasilnya nanti sesuai harapan masyarakat,” ujarnya, Jumat (15/8/2025).
Effendi menyebut proses evaluasi ini akan dilakukan secara menyeluruh, mulai dari dampak ekonomi terhadap wajib pajak hingga potensi penyesuaian nilai pajak.
Namun, ia menekankan perubahan tidak bisa dilakukan instan karena harus melewati prosedur resmi, termasuk kemungkinan revisi regulasi.
“Semua harus berproses. Kami akan evaluasi secara komprehensif. Kalau memang diperlukan penyesuaian, Pemkot sangat terbuka untuk itu,” tambahnya.
Menurut Effendi, tantangan terbesar adalah mencari titik tengah antara kebutuhan anggaran pembangunan dengan kemampuan masyarakat membayar pajak. Ia mengisyaratkan bahwa keputusan akhir harus mempertimbangkan dua sisi tersebut agar adil dan proporsional.
“Kalau hanya melihat dari satu sisi, baik itu sisi penerimaan daerah atau beban masyarakat, kebijakan akan timpang. Kami harus mempertahankan keseimbangan,” tegasnya.
Meski sudah berjanji akan menurunkan tarif, Pemkot Cirebon belum menetapkan jadwal penerapan kebijakan tersebut. Effendi beralasan, kajian teknis dan administratif masih berjalan.
“Kalau diminta tanggal pasti sekarang, saya belum bisa jawab. Yang jelas, prosesnya akan kami percepat, tetapi tetap sesuai aturan,” ungkapnya.