Bisnis.com, JAKARTA— Ada saat banyak negara mengkhawatirkan dampak buruk dari perlambatan ekonomi China, pemerintah raksasa Asia Timur itu sekali lagi justru mengisyaratkan bahwa mereka dapat mentolerir laju pertumbuhan ekonomi yang kian lesu.
Menteri Keuangan China Lou Jiwei berpendapat pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%, yang jauh di bawah target awal pemerintah sebesar 7,5%, bukanlah sebuah masalah besar bagi negara berperekonomian terbesar kedua di dunia itu.
“Menurut kami [pertumbuhan sebesar] 6,5% atau 7% bukanlah sebuah masalah berarti. Sangat sulit untuk menetapkan batasan. Akan tetapi, dari data yang kami miliki, kami masih memiliki keyakinan,” papar Lou.
Lou mengungkapkan pendapatnya itu dalam sebuah dialog ekonomi antara China dan Amerika Serikat di Washington pada Kamis (11/7/2013). Meski mengatakan dirinya dapat menerima perlambatan laju pertumbuhan, Lou masih yakin China mampu mencapai level pertumbuhan 7% pada tahun ini.
Level tersebut tetap saja lebih rendah dari target yang diinginkan oleh pemerintah sebesar 7,5%, sebagaimana dikemukakan pada Maret. Lou mengatakan pertumbuhan paruh pertama tahun ini mungkin akan berada di bawah 7,7%, tetapi tidak akan terlalu jauh dari patokan tersebut.
Komentar Lou memantik kekhawatiran bahwa China sebenarnya telah siap dengan kemungkinan terburuk, yaitu kemerosotan tertajam dalam 23 tahun terakhir. Sementara itu, Perdana Menteri Li Keqiang lebih memfokuskan diri untuk membangun pertumbuhan yang lebih berkelanjutan ketimbang mencapai target pertumbuhan yang terlalu tinggi.
Biro Statistik China akan melaporkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartal II/2013 pada Senin (15/7/2013). Sebelum data yang dinanti-nantikan itu diumumkan, para ekonom memperkirakan PDB China pada kuartal ini akan bertumbuh 7,5% dari tahun lalu.
Li Keqiang sendiri pada Maret lalu sempat mengatakan China menginginkan pertumbuhan tahunan di level 7% pada dekade ini. Dia menambahkan target pertumbuhan rata-rata yang ingin dicapai Negeri Panda itu hingga 2020 adalah 7,5%.
“Tolong jangan lupa bahwa target pertumbuhan PDB kami tahun ini adalah 7%. Bagi kami, tidak ada terlalu banyak hambatan untuk dapat mencapai ekspetasi kami tahun ini,” ujar Lou dalam kunjungannya ke Amerika Serikat.
Menurut Lou, perlambatan tersebut sudah sewajarnya terjadi sebagai bagian dari transisi struktural. Dia menjelaskan pemerintah tengah menekankan reformasi di area-area yang mencakup jasa keuangan dan pendanaan publik guna mencapai pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
China mengalami pertumbuhan tahunan di bawah 8% pada tahun lalu, yang merupakan kali pertama sejak 1999. Perlambatan itu terjadi seiring dengan upaya pemerintah untuk melakukan restrukturisasi dan mengurangi ketergantungan terhadap ekspor dan investasi untuk mencapai pertumbuhan.
Pendapat AS
Dalam kunjungannya ke AS, Lou juga mewakili pemerintah China untuk menyegel perjanjian kerja sama dengan Negara Paman Sam guna mencapai perekonomian yang lebih terbuka dan berbasis pada pasar.
Mewakili pihak AS dalam pertemuan 2 hari di Washington itu adalah Menteri Keuangan Jacob J. Lew. Dia mengatakan para pemimpin China telah menunjukkan niat untuk terus membuat perubahan signifikan terhadap sistem nilai tukar, sistem keuangan, BUMN, dan perpaduan antara pajak dan bisnis.
“Komitmen [yang dibentuk oleh China dan AS] belum menyelesaikan semua kekhawatiran dari kedua belah pihak. Kendati demikian, [komitmen itu] mewakili sebuah kemajuan riil,” ujar Lew.
Sementara itu, Wakil Perdana Menteri China Wang Yang menyampaikan kabar baik bahwa AS sepakat untuk memperlakukan investor asal China dengan adil. Departemen Keuangan AS menambahkan pakta investasi lintas batas yang telah disepakati akan menjadi langkah pertama yang disepakati China untuk melibatkan semua industri dalam berhubungan dengan negara lain.
Clay Lowery, Wakil Presiden Rock Creek Global Advisors berpendapat China menegosiasikan sebuah perjanjian yang tidak hanya akan melindungi investasi yang tengah mereka buat, tetapi juga meningkatkan akses bagi investor AS untuk dapat masuk ke pasar China. Dia meniliai perjanjian tersebut sebagai sebuah gebrakan sesungguhnya.
“Ini berarti akan ada transparansi yang lebih besar bagi para investor dan juga sebuah peluang untuk menyelesaikan masalah akses pasar riil,” pungkas Lowery. (ltc)