Bisnis.com, JAKARTA—Ketidaksiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 makin terbukti setelah pelaku usaha mengusulkan komoditas unggas sebagai komoditas yang harus disertakan dalam sensitive list atau diproteksi seperti halnya beras dan gula.
Pengusaha unggas sendiri mengusulkan hal itu karena produk sejenis dari negara tetangga telah dilengkapi beberapa fasilitas dari pemerintah masing-masing yang bermuara pada harga yang jauh lebih kompetitif dibandingkan produk dalam negeri.
Selain itu, pasar perunggasan dalam negeri sendiri masih belum tumbuh mengiringi kenaikan produksi setiap tahunnya, yang dibuktikan dengan kelebihan suplai day old chicken (DoC) atau bibit ayam sekitar 42 juta/minggu, yang melampaui kemampuan pasar sebesar 38 juta/minggu.
“Kalau dipaksakan bersaing [dalam MEA 2015], ya bagaimana? Sekarang saja sudah surplus 4 juta/minggu. Pasar sudah kelebihan suplai,” kata Sekjen Gabungan Organisasi Peternak Nasional (Gopan) Ayam Ruri Sarsono, Rabu (19/3/2014).
Pada kesempatan terpisah, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heryawan mengatakan bahwa kementerian memang mengusulkan produk perunggasan untuk diberi treatment khusus ketika MEA 2015 diberlakukan, seperti beras dan gula. Hal ini disebabkan karena perunggasan sendiri masih tergolong komoditas yang sensitif.
“Ya karena kalau produk ini tidak kita protect, juga bisa berbahaya juga. Sama dengan beras dan gula, tidak masuk dalam agenda AEC. Jadi [perunggasan] ini ada pengaturan, supaya kita bisa membendung juga. Ada pembatasan, kuota,” ujarnya.
Selain perunggasan, Rusman menuturkan bahwa pesaing utama Indonesia untuk pangan atau hortikultura dalam MEA 2015 adalah Thailand.
Sebab, katanya, selama ini neraca perdagangan produk hortikultura dan pangan itu memang selalu defisit, dan ketika MEA 2015 diberlakukan, dia mengakui bahwa defisit neraca perdagangan itu sangat berpotensi untuk makin melebar.