Bisnis.com, JAKARTA—Meski pemerintah mengklaim kemudahan berusaha atau ease of doing business mengalami perbaikan, pelaku usaha justru menilai capaian tersebut belum sesuai ekspektasi, dan tidak cukup menarik minat investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan capaian kemudahan berusaha Indonesia masih belum lebih baik ketimbang negara tetangga. Dia mengaku minat pelaku usaha untuk berinvestasi di Indonesia masih minim.
“Yah pemerintah itu kan ngomongnya enak. Harusnya dilihat dulu dong yang investasi itu banyak enggak ? Banyak negara lain lebih maju daripada kita. Jadi jangan pikir karena itu, kita lebih hebat, karena ternyata negara lain lebih baik lagi,” ujarnya.
Sofjan menilai pemerintah seharusnya menargetkan perbaikan kemudahan berusaha untuk lebih baik dengan negara pesaing, bukan membandingkan kinerja yang dulu dengan sekarang. Menurutnya, investor bakal lebih memilih negara dengan kondisi kemudahan berusaha yang paling baik.
Dia mengaku pelaksanaan berusaha di Indonesia belum sepenuhnya sesuai harapan pelaku usaha. Misalnya, dalam mendapatkan tanah, perizinan, hingga kepastian hukum yang seringkali digunakan oknum PNS untuk mengganggu pelaku usaha.
“Saya pikir kemajuan ada, tetapi belum ada sesuai dengan harapan kita agar investor itu berani menanamkan modalnya di Indonesia. Bahkan, banyak pengusaha di indoensia yang justru memilih investasi di luar, seperti Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, faktor-faktor lainnya di luar kemudahan berusaha, seperti risiko bunga tinggi, buruh, hingga pajak juga ikut menjadi pertimbangan pelaku usaha. Oleh karena itu, dia berharap pemerintah dapat segera memberikan solusi yang lebih kongkrit.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menilai pelaku usaha belum cukup bergairah untuk berinvestasi di Indonesia, meskipun iklim kemudahan berusaha diklaim lebih baik oleh pemerintah.
“Masih banyak hal-hal yang sangat fundamental di Indonesia itu tidak dikerjakan dalam menarik pelaku usaha untuk berinvestasi. Misalnya, kebutuhan energi listrik dan pasar. Jadi mau investasi apa, kalau ini saja masih belum pasti,” tuturnya.
Ade berpendapat minimnya gairah investasi di Indonesia, terutama industri tekstil lebih disebabkan tidak adanya ketersediaan listrik dan pasar. Bahkan, dia memprediksi Indonesia akan mengalami krisis listrik pada tahun depan, sehingga berdampak terhadap minat investasi.
Sementara dari sisi pasar, dia juga berhara[ pemerintah menjalin kerjasama perjanjian dagang dengan negara lainnya guna membuka pasar bagi pelaku usaha. Menurutnya, di tengah persaingan global ini, pelaku usaha Indonesia cukup kesulitan dalam menjual barang/jasa.
“Padahal, negara tetangga justru lebih intens dalam menjalin perjanjian dagang dengan negara lainnya seperti Eropa dan AS. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka tidak heran apabila pelaku usaha banyak yang berinvestasi di luar,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Azwar Abubakar mengklaim iklim kemudahan berusaha jauh berubah sejak ditetapkannya sebagai quick wins nasional reformasi birokrasi.
“Dalam setahun ini kita terus bekerja keras. Untuk memulai usaha misalnya, dari semula perlu waktu 53 hari, kini cukup 6 hari. Seluruh perkembangan selalu kami awasi, dan hasilnya kami laporkan kepada Pak Wapres,” ujar Menteri PANRB Azwar Abubakar beberapa waktu yang lalu.
Selain kemudahan berusaha, Azwar mengklaim pelayanan dasar publik juga kian berkualitas. Dengan adanya perbaikan layanan dasar publik dan kemudahan berusaha, dia berharap kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin meningkat.