Bisnis.com, JAKARTA- PT Pelabuhan Penajam Banua Taka atau Eastkal Supply Base siap menjadi pusat penampungan peralatan pendukung kegiatan hulu minyak dan gas di kawasan Kalimantan dan Indonesia Timur setelah melakukan investasi sebesar Rp1 triliun sejak 2013.
Penggunaan fasilitas penyimpanan di dalam negeri melalui kawasan berikat bermanfaat untuk menghemat pengeluaran negara berupa cost recovery yang selama ini masuk ke kas Singapura sebagai pusat penyimpanan peralatan pendukung di sektor hulu migas.
Presiden Direktur Eastkal Supply Base Arya N. Soemali mengatakan kesiapan itu bisa dilihat dari infrastruktur yang dimiliki perusahaan yang berbasis di Kalimantan Timur seperti kolam dermaga yang memiliki kedalaman 12 meter serta lahan penampungan seluas 90 hektare yang terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara.
“Dari 90 hektare itu, kami menyiapkan 20 hektare sebagai gudang penyimpanan berbagai peralatan untuk mendukung kegiatan di sektor hulu migas,” terangnya, Senin (13/4).
Dari sisi perizinan, menurutnya, pada November 2014, Eastkal Supply Base telah mendapatkan izin dari Kementerian Keuangan untuk menyelenggarakan kegiatan kepabeanan serta lisensi sebagai lokasi penimbunan sementara.
“Kami juga dalam proses pengajuan izin gudang berikat sebagai kelanjutan dari lokasi penimbunan sementara,” tambahnya.
Di lokasi itu, paparnya, para importir berbagai peralatan pendukung kegiatan hulu migas bisa melakukan penyimpanan hingga setahun sebelum dikirim ke area eksplorasi dan eksploitasi migas. Selama penyimpanan itu, menurutnya, bea masuk bisa ditangguhkan.
“Tahun ini kami siap melakukan pemasaran secara besar-besaran kepada para kontraktor perminyakan,” katanya.
Dia mengakui selama ini kegiatan penyimpanan peralatan pendukung migas mayoritas dilakukan di Singapura. Biaya penyimpanan di negara tetangga itu, lanjutnya, dimasukkan ke dalam cost recovery yang harus dibayarkan oleh Indonesia kepada kontraktor perminyakan.
“Coba kalau disimpan di dalam negeri, pasti pembayaran cost recovery bisa dinikmati oleh Indonesia juga,” tuturnya.
Hasil studi Asosiasi Logistik dan Forwader Indonesia (ALFI) menyatakan investasi kegiatan hulu migas di Indonesia pada 2013 tercatat sebesar US$19,34 miliar di mana US$6,47 miliar digunakan untuk pembelian impor barang dan peralatan pendukung lainnya.
Pada 2014, investasi migas meningkat US$25,64 miliar di mana untuk impor barang dan peralatan pendukung sebesar US$8,6 miliar.
Dengan asumsi 75% penimbunan barang dilakukan di Singapura dari nilai belanja US$8,6 miliar dan biaya penumpukkan dan pengelolaan logistik rerata 10% maka pada 2014, negeri itu meraup Rp7 triliun hingga Rp8 triliun sepanjang 2014 belum termasuk pengelolaan dan perbaikan barang serta bahan tertentu di kawasan berikat yang masih berkaitan dengan penyimpanan peralatan.